MAdBB-14


MATA AIR DI BAYANGAN BUKIT

JILID 14

kembali | lanjut

cover madbb-14TETAPI bagaimana jika orang-orang Sanggar Gading itu menyalahi janji?” gumam ibunya.

“Mereka tidak akan berbuat demikian. Mereka memerlukan pusaka itu. Dan mereka tidak akan mencelakai aku karenanya” jawab Daruwerdi.

“Sesudah pusaka itu kau berikan?” berkata ibunya pula.

“Apa gunanya mereka berkhianat? Setelah pusaka itu aku berikan, bukankah lebih baik bagi mereka untuk segera meninggalkan tempat ini, karena ada kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin akan mengganggu? Mereka tentu mempertimbangkan kehadiran orang-orang Kendali Putih, orang-orang Pusparuri atau orang-orang dari perguruan yang lain yang semuanya menginginkan pusaka itu. Sementara mereka mengetahui bahwa Pangeran itu telah diambil oleh segolongan dari mereka yang menginginkan pusaka itu, maka mereka tentu akan bertindak lebih jauh” jawab Daruwerdi. Lalu, “Nah, itulah maka aku tidak ingin ada orang lain yang dapat memancing kecurigaan orang-orang Sanggar Gading, Jika aku sendiri, mereka tidak akan menghiraukan aku lagi. Mereka tidak akan mempertimbangkan kemungkinan, bahwa aku akan merampas kembali pusakaku”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi. Agaknya Daruwerdi sudah mempertimbangkan segala-galanya dengan masak, sehingga ia tidak akan dapat merubah keputusannya.

Karena perempuan itu tidak menjawab, maka Daruwerdi berkata lagi, “Karena itu ibu, aku persilahkan ibu berada di tempat ini dengan tenang. Serahkan segalanya kepadaku. Demikian pula, dengan ucapan terima kasih aku persilahkan paman menunggui ibu. Hanya dalam keadaan yang memaksa, aku akan mohon bantuan paman berdua”

Kedua orang laki-laki yang bertubuh tegap dan kekar itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk Merekapun telah mengenal watak dan tabiat Daruwerdi dengan baik.

Dalam pada itu Daruwerdi pun berkata pula, “Sudahlah ibu berada di ruang dalam. Aku sedang menunggu orang-orang Sanggar Gading. Salah seorang dari mereka akan datang dan memberitahukan kepadaku, apabila kawan-kawan mereka datang. Hari ini adalah hari terakhir. Jika hari ini mereka tidak datang, maka segala pembicaraan dengan orang-orang Sanggar Gading dianggap tidak pernah ada, dan agaknya apa yang mereka katakan tentang Pangeran itu hanya sekedar ceritera bohong belaka”

Perempuan, itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bangkit dan berjalan ke ruang dalam diikuti oleh kedua orang yang datang bersamanya.

Namun dalam pada itu, perempuan itu berkata, “Daruwerdi, bagaimana jika terjadi kecurangan yang lain”

“Maksud ibu?” bertanya Daruwerdi.

“Mereka tidak membawa Pangeran itu” jawab ibunya, “Jika mereka mengatakan, maka mereka sekedar memancingmu. Kemudian mereka menangkapmu dan memaksamu menunjuk-kan dimana pusaka itu”

“Tidak akan mereka lakukan” berkata Daruwerdi, “Aku adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang pusaka itu menurut dugaan mereka. Mereka tidak akan berbuat apa-apa terhadapku”

“Justru karena itu. Mereka dapat menyiksamu sampai kau mengatakannya” berkata ibunya lebih lanjut.

Tetapi Daruwerdi tertawa. Katanya, “Aku mempunyai gelembung-gelembung racun. Gelembung-gelembung racun itu ada di mulutku, saat aku menemui orang-orang Sanggar Gading. Jika mereka berkhianat, maka gelembung getah beracun itu akan dapat aku telan, sehingga tidak seorang pun akan dapat menyelamatkan aku. Dan ceritera tentang pusaka itu akan lenyap bersama nyawaku”

“Jangan” desis perempuan itu.

“Ibu. Ingat. Aku sekarang adalah Daruwerdi yang mempunyai sikap dan perhitungan tersendiri. Ibu harus menyadari kedudukanku dan siapa aku sekarang ini” berkata Daruwerdi.

Ibunya menundukkan kepalanya. Tetapi setitik air telah mengalir di pipinya.

Namun demikian ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia pun kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke ruang dalam diiringi oleh kedua orang yang disebutnya sebagai paman Daruwerdi itu.

Ketika ketiga orang itu telah hilang dibalik pintu, maka Daruwerdi kembali duduk merenungi rencananya. Sementara segalanya akan berjalan dengan penuh kemungkinan.

Dalam pada itu, ternyata di daerah sekitar Sepasang Bukit Mati itu telah berpencaran orang-orang menunggu peristiwa yang akan terjadi itu dengan hati yang berdebar-debar. Rahu yang berada di pategalan menunggu orang-orang Sanggar Gading di jalur jalan seperti yang sudah direncanakan. Semi dan kawannya telah berada di lereng bukit. Atas petunjuk Jlitheng ia berhasil mengamati orang-orang berkuda setelah menyimpan kudanya tidak terlalu jauh dari gubug orang tua di lereng bukit itu tanpa setahu penghuninya. Sementara Jlitheng telah menemukan tempat yang paling baik didekat bukit gundul.

Namun selain mereka, ternyata dua orang yang sudah sejak hari sebelumnya berada di Lumban, bahkan telah melihat meskipun dari kejauhan, bagaimana orang-orang Lumban saling memperebutkan air. Bahkan sambil berkelakar dengan kawannya orang itu sempat berkata, “Alangkah dungunya anak-anak muda Lumban. Dalam keadaan seperti sekarang, mereka masih sempat memperebutkan air. Pada saat orang-orang yang memiliki penglihatan akan jauh kedepan sudah memperebutkan pusaka dan kemungkinan untuk mendapatkan derajad dan pangkat yang setinggi-tingginya, maka orang-orang Lumban masih saja bergulat dengan lumpur”

Dan kawannya menjawab sambil tertawa tertahan-tahan, “Itulah isi dari bumi. Tanpa orang-orang yang tidak bercita-cita seperti mereka, maka tidak akan ada orang yang bersedia berkumur lumpur. Kita dapat berbuat seperti sekarang, karena kita mempunyai kemampuan. Karena kita bersenjata dan dapat mempergunakan senjata. Tetapi dengan demikian kita pun telah bertaruh nyawa dalam setiap langkah kita. Berbeda dengan orang-orang bodoh itu”

Kawannya tidak menyahut. Namun mereka pun kemudian memperhatikan keadaan dengan saksama.

Kawan-kawan kedua orang itulah yang kemudian datang dan beristirahat di bawah bukit berhutan itu.

Karena itu, ketika kawan-kawannya telah datang, maka kedua orang itupun segera menemui mereka dan melaporkan apa yang telah mereka lihat di daerah Sepasang Bukit Mati itu.

“Apakah kalian tidak melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Daruwerdi?” bertanya pemimpinnya.

“Semalam ia masih menunggui anak-anak Lumban Wetan dan Lumban Kulon bertengkar memperebutkan air. Nampaknya Daruwerdi benar-benar tidak mempersiapkan sekelompok kecil sekalipun orang-orang yang akan membantunya dalam pelaksanaan penyerahan Pangeran itu” jawab salah seorang dari kedua orang yang telah datang lebih dahulu.

“Kau yakin?” bertanya pemimpinnya.

“Ya. Aku menduga, bahwa Daruwerdi benar-benar akan menghadapi orang-orang Sanggar Gading itu seorang diri. ia akan menyerahkan pusaka yang dijanjikan dan menerima Pangeran yang lelah diambil oleh orang-orang Sanggar Gading itu” jawab orang yang telah mendahului itu.

Pemimpinnya mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kita jangan terpancing oleh suasana itu. Mungkin disamping Daruwerdi sudah ada orang lain yang mendapat tugas untuk melakukan sesuatu, justru setelah serah terima itu dilaksanakan. Mungkin seorang kepercayaannya sudah siap dengan pasukan segelar sepapan. Mereka akan menyerap dan merampas kembali pusaka yang dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading”

Memang mungkin. Tetapi aku sudah mengelilingi daerah di sekitar Sepasang Bukit Mati ini. Aku tidak melihat sesuatu kecuali anak-anak Lumban yang saling bertengkar karena air. Sementara Daruwerdi sendiri terlibat langsung dalam pertentangan itu. Sehingga menurut pengamatanku, Daruwerdi tidak mempersiapkan apapun juga menghadapi persoalan yang akan berlangsung itu”

“Itu mustahil” jawab pemimpinnya, “Ia tentu telah mengadakan persiapan apapun bentuknya. Kita jangan dikelabui dengan pengamatan yang salah”

Orang-orang yang telah berada di Lumban lebih dahulu itu menjawab, “Aku kira, aku sudah melakukan pengamatan sebaik-baiknya. Namun demikian kita masih mempunyai waktu”

“Waktu kita sudah terlalu sempit. Menurut keterangan yang kita dengar, hari ini orang-orang Sanggar Gading akan datang” berkata pemimpinnya.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan? Apakah kita akan mengambil Pangeran itu dari tangan orang-orang Sanggar Gading, atau kita akan mengambil pusakanya kemudian, setelah orang-orang Sanggar Gading itu menukarkan Pangeran itu dengan pusaka yang dijanjikan oleh Daruwerdi” bertanya pengikutnya.

“Kita tidak terlalu bodoh untuk bertindak tergesa-gesa. Jika kita mencegat orang-orang Sanggar Gading sebelumnya, maka ada kemungkinan yang sangat buruk terjadi pada Pangeran itu” jawab pemimpinnya, “Jika saatnya orang-orang Sanggar Gading harus mengakui kekalahannya, maka ia tidak akan dengan rela melepaskan Pangeran itu. Mereka tentu menganggap bahwa lebih baik semuanya tidak mendapatkan pusaka itu daripada gagal jatuh ditangannya. Orang-orang Sanggar Gading dapat membunuh Pangeran itu pada saatnya mereka melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat mempertahankannya”

“Tidak ada bedanya” jawab pengikutnya, “Merekapun dapat menghancurkan pusaka yang telah berada di tangan mereka”

“Mereka tidak akan berani melakukan terhadap pusaka yang dihormati oleh semua orang di wilayah Demak” jawab pemimpinnya, “karena dengan demikian mereka akan dapat terkena kutuk dari pusaka ku. Bukannya disaat mereka hidup di dunia ini, tetapi pada saat mereka mati, mereka masih akan tetap dijerat oleh kutukan pusaka itu” jawab pemimpinnya pula.

Orang-orang yang bertugas untuk mengamati keadaan itu mengangguk-angguk. Merekapun percaya, seperti apa yang dikatakan oleh pemimpinnya itu, sehingga yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar menunggu orang-orang Sanggar Gading datang ke daerah Sepasang Bukit Mati, menyerahkan Pangeran itu dan menerima pusaka yang dijanjikan oleh Daruwerdi. Baru setelah itu, maka mereka akan bertindak langsung untuk merampas pusaka yang diperebutkan itu. Meskipun demikian, pemimpin kelompok itupun sadar, bahwa ada beberapa pihak yang menginginkan pusaka itu, sehingga mungkin yang akan bertarung di daerah Sepasang Bukit Mati itu terdiri dari beberapa kelompok dari padepokan-padepokan yang memang sudah sejak lama mempersiapkan diri untuk mendapatkan pusaka itu.

“Mudah-mudahan, tidak ada pihak lain yang mengetahui rencana orang-orang Sanggar Gading, bahwa mereka akan datang hari ini” berkata pemimpin kelompok itu.

“Aku tidak melihat, kehadiran pihak lain di daerah Sepasang Bukit Mati ini” berkata pengikutnya pula.

“Baiklah. Akan ada orang lain yang bertugas mengawasi keadaan” berkata pemimpinnya, “Kau dapat beristirahat diantara kami, “

Kedua orang itupun kemudian berkumpul kembali di induk pasukannya, sementara orang lain mendapat tugas untuk mengamati keadaan di sekitar daerah itu.

Dalam pada itu, matahari beredar terus pada porosnya. Semakin lama semakin tinggi. Ketika puncak langit telah dilampauinya, maka matahari itu pun mulai menurun ke arah Barat.

Jlitheng benar-benar sudah basah oleh keringat. Tetapi ia tidak melihat seorang pun mendekati bukit gundul. Karena itu. maka ia pun merasa jemu karenanya. Mungkin ia masih dapat berbuat sesuatu sebelum saat yang menegangkan itu terjadi.

Namun dalam pada itu, orang-orang Sanggar Gading pun telah menjadi semakin dekat. Mereka memasuki daerah Sepasang Bukit Mati dengan sangat hati-hati. Dua orang yang mendahului perjalanan iring-iringan sekelompok orang padepokan Sanggar Gading mengamati keadaan dengan saksama. Tetapi nampaknya tidak ada hambatan yang berarti bagi perjalanan mereka.

Ketika terik matahari bagaikan membakar pategalan yang kering, maka Rahu pun seperti Jlitheng pula, hampir kehilangan kesabaran. Apalagi gersangnya pategalan sama sekali tidak memberikan kesejukan sama sekali. Beberapa batang pohon yang berdaun kekuning-kuningan telah melepaskan daun-daunnya selembar demi selembar jika angin mulai bertiup. Namun demikian, ada juga tempat yang dapat melindunginya dari jilatan panas matahari.

Pada saat yang demikian, jalan-jalan diantara pategalan itupun menjadi lengang sunyi, seperti ditengah malam yang gelap pekat. Tidak ada seorang pun yang lewat, apalagi menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati.

Ketika angin bertiup semakin kencang, terasa sejemput kesejukan mengusap wajah Rahu yang berdebu. Namun dengan demikian, diluar sadarnya iapun telah menguap.

“Gila” geramnya, “kantuk mulai menggangguku. Jika aku tidak mampu lagi bertahan, sementara dua orang yang tidak dikenal itu menemukan aku disini dan sempat melihat senjataku, maka aku tidak akan dapat bangun lagi untuk selama lamanya”

Karena itu, betapapun kantuk mencengkamnya, juga karena kelelahan dan kurang tidur, namun Rahu tetap bertahan untuk duduk bersandar sebatang pohon keluwih yang tumbuh di pategalan itu.

Dalam pada itu, dalam kelengahan jalan menuju ke daerah Sepasang Bukit Mati itu, tiba-tiba saja oleh pendengarannya yang tajam, terdengar derap kaki kuda mendekat.

Untuk meyakinkan pendengarannya maka Rahu pun telah menempelkan telinganya di tanah sambil mengerahkan kemampuan indera pendengarannya. Kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Dua atau tiga ekor kuda”

Rahu berkisar. Ia duduk di belakang pohon keluwih, sehingga Ia tidak segera dapat dilihat oleh mereka yang lewat di jalan yang membelah pategalan itu.

Semakin lama derap kaki kuda itu pun terdengar semakin dekat. Rahu bergeser agar ia dapat terlindung. Namun dari tempatnya ia akan dapat mengintip kuda yang bakal lewat di jalan beberapa langkah dihadapannya.

Ketika dua ekor kuda menjadi semakin dekat, maka Rahu pun berdesis pula, “Hanya dua” sementara ia pun mulai memperhatikan siapakah yang berada di punggung kuda itu.

Sejenak Rahu termangu-mangu. Yang datang di punggung kuda itu bukannya Cempaka yang telah bersepakat sebelumnya untuk menemuinya di tempat yang sudah dijanjikannya, justru diantara tikungan dengan sebatang pohon yang sudah tidak berdaun lagi, di ujung tegalan.

“Tetapi nampaknya mereka mendapat pesan dari Cempaka” berkata Rahu kepada diri sendiri.

Meskipun Rahu mengenal keduanya dengan baik, tetapi seperti juga orang-orang Sanggar Gading yang lain, kadang-kadang mereka dibayangi oleh kecurigaan dan prasangka.

Untuk meyakinkan dugaannya, Rahu tidak segera menyapanya. Dibiarkannya kedua orang penunggang kuda ku menelusuri jalan pategalan itu. Bahkan, Rahu pun justru berusaha untuk mengamati dan mengikuti kedua orang itu dari dalam pategalan.

Dengan hati-hati ia meloncat dari sebatang kayu ke sebatang kayu berikutnya, dan dari balik perdu yang kekuning-kuningan, ke segerumbul perdu yang lain.

“Mereka asyik memperhatikan jalan yang dilaluinya” berkata Rahu di dalam hati.

Sebenarnyalah, ketika mereka melewati ujung pategalan, salah seorang dari keduanya menunjuk sebatang pohon yang dimaksud oleh Cempaka.

“Nampaknya mereka benar-benar atas nama orang-orang Sanggar Gading” desis Rahu, “agaknya Cempaka memberitahukan ciri itu kepada mereka”

Karena itulah, maka Rahu pun kemudian mendekati kedua orang yang masih berada di punggung kuda itu. Ketika tiba-tiba saja ia mendehem, maka kedua orang berkuda itu terkejut karenanya. Dengan serta merta keduanya berpaling sambil meraba hulu senjata masing-masing.

“Rahu” tiba-tiba salah seorang dari keduanya berdesis.

“Ya” sahut Rahu, “dimana Cempaka”

“Ia berada dibelakang, bersama dengan seluruh kelompok” jawab orang yang masih berada di punggung kuda itu.

“Siapa yang memimpin kelompok itu?” bertanya Rahu.

“Yang Mulia sendiri” jawab penunggang kuda itu.

Rahu mengerutkan keningnya. Nampaknya pimpinan tertinggi dari padepokan Sanggar Gading itu pun tidak mempercayai orang-orang yang selama itu menjadi kepercayaannya. Dalam tugas yang paling gawat, maka ia sendiri yang hadir untuk menyelesaikannya.

“Apakah Cempaka berpesan sesuatu kepada kalian?” bertanya Rahu kemudan.

“Ya. Pohon yang tidak berdaun ditikungan” jawab salah seorang dari penunggang kuda itu, “Tetapi nampaknya kau menunggu kami disini”

“Terlalu panas ditikungan itu. Tidak ada selembar daun pun yang dapat melindungi aku dari terik matahari” jawab Rahu, “Nah, sekarang apa rencana kalian?”

“Mendengar keteranganmu. Kemudian memberitahukan kepada Yang Mulia apakah diperjalanan ada hambatan atau tidak sama sekali” jawab salah seorang dari penunggang kuda itu.

“Apakah Yang Mulia masih jauh?” bertanya Rahu.

Kedua orang berkuda itu menggeleng. Salah seorang dari keduanya menjawab, “Ia berada di ujung hutan perdu pada jalan simpang yang jarang dilalui orang, di seberang sungai”

“Aku akan menemuinya” berkata Rahu, “Aku akan dapat melaporkan segala-galanya.

“Apa ada sesuatu yang penting?” bertanya orang berkuda itu.

“Ya. Jika kau tidak berkeberatan, kau berdua menunggu disini. Aku pinjam salah seekor kuda kalian” sahut Rahu.

“Dimana kudamu?” bertanya orang berkuda itu.

“Aku tinggal di padukuhan” jawab Rahu.

Kedua orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya salah seorang dari keduanya berkata, “Baiklah. Tetapi cepat kembali. Kami berdua belum mengenal daerah ini”

“Terima kasih. Sebaiknya kalian berlindung di pategalan itu saja, seperti yang aku lakukan. Berhati-hatilah menghadapi setiap kemungkinan. Di lereng bukit berhutan yang nampak itu, sekelompok orang-orang berkuda telah menunggu kedatangan orang-orang Sanggar Gading”

“Kau tahu pasti?” desis salah seorang dari kedua penunggang kuda itu.

“Aku tahu pasti. Karena itu berhati-hatilah. Jika diantara mereka ada yang memasuki pategalan ini, berusahalah mempertahankankan diri” pesan Rahu.

“Apakah mereka berkeliaran?” bertanya kawannya yang baru datang itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi menurut perhitunganku, ternyata ada diantara mereka yang mengamati daerah Sepasang Bukit Mati ini. Jika satu atau dua orang memasuki pategalan ini, terserahlah kepadamu. Tetapi lebih baik, jika mereka tidak pernah keluar lagi dari pategalan ini” jawab Rahu.

“Ya. Mereka atau kami yang tidak akan pernah keluar dari pategalan ini” jawab salah seorang dari keduanya.

“Baiklah. Berhati-hatilah. Aku pinjam seekor dari kedua ekor kuda itu” minta Rahu kemudian.

Demikianlah, maka Rahu pun memacu kudanya menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang kawannya itu. Ia merasa tidak puas jika ia tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Cempaka, atau lebih baik Sanggit Raina atau Yang Mulia sendiri.

Tidak sulit bagi Rahu untuk menemukan di kelompok orang-orang Sanggar Gading yang berhenti di antara hutan, perdu seujung jalan setapak yang jarang dilalui orang. Ketika dua orang pengawas melihat seekor kuda berpacu, maka timbullah kecemasan di hati mereka. Mereka menyangka bahwa dua orang yang mendahului perjalanan mereka mengalami kesulitan, sehingga hanya seorang sajalah yang sempat kembali dengan selamat.

Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat, justru Rahu lah yang sedang berpacu diatas punggung kuda itu.

“Rahu” desis salah seorang dari mereka, “kemana kedua orang yang telah mendahului iring-iringan ini?”

Kawannya tidak menjawab, sementara Rahu pun menjadi
semakin dekat.

Kedua orang pengawas itupun kemudian dengan tergesa-gesa telah menyongsong Rahu, sementara Rahu pun telah menarik kendali kudanya. Sebelum Rahu meloncat turun, salah seorang yang menyongsongnya itu telah bertanya, “Apakah kau tidak bertemu dengan dua orang kawan kita yang mendahului perjalanan kami ke daerah Sepasang Bukit Mati?”

“Ya” jawab Rahu.

“Bagaimana dengan mereka?” bertanya seorang yang lain.

“Tidak apa-apa. Aku memakai kudanya, sementara mereka menunggu” jawab Rahu.

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang berkata, “Sukurlah. Lalu kenapa kau yang datang kemari?”

Rahu tidak menjawab. Tetapi justru ia bertanya, “Di mana Cempaka”

“Ia berada diantara gerumbul-gerumbul perdu itu” jawab salah seorang dari kedua pengawas itu.

Rahu pun kemudian meloncat turun dan menuntun kudanya berjalan diantara gerumbul-gerumbul perdu. Beberapa orang yang ternyata berserakan diantara gerumbul-gerumbul perdu itu pun berpaling. Mereka segera melihat Rahu yang berjalan diantara mereka.

“He, kau Rahu” desis orang yang bertubuh gemuk.

“Ya” sahut Rahu. Dan iapun bertanya, “Dimana Cempaka?”

Sebelum orang bertubuh gemuk itu menjawab, maka terdengar jawaban dari arah lain, “Aku disini, Rahu”

Rahu berpaling. Dilihatnya Cempaka berbaring diatas rerumputan kering. Katanya, “Kemarilah”

Rahu pun mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Lalu iapun duduk disamping Cempaka yang berbaring seorang diri, karena kawan-kawannya berserakan beberapa langkah daripadanya.

“Bagaimana?” bertanya Cempaka.

Rahu pun kemudian menceriterakan bahwa ia bertemu dengan kedua orang yang mendahului perjalanan orang-orang Sanggar Gading dan kemudian dengan meminjam salah seekor kudanya ia sengaja menemui Cempaka.

“Ada sesuatu yang penting?” bertanya Cempaka. Rahu pun kemudian menceriterakan pula keadaan daerah Sepasang Bukit Mati. Juga tentang kehadiran sekelompok orang-orang berkuda.

“Dari padepokan manakah orang-orang itu?” bertanya Cempaka.

“Aku tidak tahu. Tetapi mereka berada di lereng bukit berbatu itu” jawab Rahu.

Cempaka mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Marilah Kita berbicara dengan Sanggit Raina”

Rahu pun kemudian dibawa oleh Cempaka menemui Sanggit Raina untuk menceritakan kembali apa yang dilihatnya di daerah Sepasang Bukit Mati.

“Orang-orang itu berbahaya bagi kita” gumam Sanggit Raina.

“Ya. Apakah mereka harus dihancurkan lebih dahulu, atau kita akan bertemu dengan Daruwerdi dan menyerahkan Pangeran itu lebih dahulu” desis Cempaka.

“Menurut pendapatku, kita harus menyerahkan Pangeran itu dahulu. Jika terjadi sesuatu dengan Pangeran itu, maka Daruwerdi akan dapat mengelak untuk menyerahkan pusaka yang dijanjikannya” jawab Sanggit Raina, “Namun demikian, aku akan berbicara dengan Yang Mulia. Kalian menunggu aku disini”

Sanggit Raina pun kemudian pergi menemui Yang Mulia. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Sanggit Raina, seperti juga sikap Yang Mulia sejak berangkat, mereka menukarkan Pangeran itu lebih dahulu. Baru mereka akan menghadapi apa saja yang mungkin terjadi.

Namun dalam pada itu, Yang Mulia telah mengambil keputusan untuk segera melanjutkan perjalanan, justru karena ada pihak lain yang berada di daerah Sepasang Buka Mati, Sehingga dengan demikian, segalanya akan semakin cepat terjadi, apapun yang akan terjadi itu.

Sejenak kemudian, orang-orang Sanggar Gading itu telah bersiap untuk berangkat. Mereka telah memegang kendali kuda masing-masing Ketika terdengar isyarat, maka mereka pun segera berloncatan naik.

Yang berada di paling depan adalah Sanggit Raina, Cempaka Rahu yang menjadi petunjuk jalan, meskipun Cempaka juga sudah mengenal daerah itu sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian, mereka telah berpacu menuju ke pategalan, tempat kedua orang Sanggar Gading yang mendahului perjalanan itu menunggu.

Namun dalam pada itu, telah terjadi sesuatu dengan kedua orang yang menunggu di pategalan. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Rahu, bahwa orang-orang yang berada di lereng bukit berhutan, telah mengirimkan dua orang untuk melihat-lihat daerah Sepasang Bukit Mati. Namun mereka telah mengelilingi daerah itu terlalu jauh. Mereka tidak memperhitungkan kemungkinan hadirnya orang-orang Sanggar Gading, meskipun mereka justru menunggu orang-orang Sanggar Gading. Karena itulah, maka ketika mereka melintas didekat pategalan, mereka telah terkejut mendengar suara seekor kuda meringkik.

Sebenarnyalah, kedua orang Sanggar Gading yang berada di pategalan itu sudah berusaha untuk tidak menampakkan diri. Tetapi diluar perhitungan mereka, ternyata kudanya telah meringkik.

“Aku mendengar suara seekor kuda” berkata salah seorang dari kedua orang yang mengamati daerah Sepasang Bukit Mati itu.

“Tentu ada orang berkuda yang bersembunyi di dalam pategalan itu” desis yang lain.

“Persetan. Kita harus menemukannya” geram yang pertama.

“Tidak ada gunanya” sahut kawannya, “Kita akan melaporkan kepada pemimpin kita”

“Kita harus membunuhnya. Mereka tentu mengamati kita. Mungkin mereka adalah orang-orang Sanggar Gading itu sendiri, yang hari ini akan datang untuk menyerahkan Pangeran itu” berkata yang pertama.

“Apakah keuntungannya” bertanya kawannya.

“Orang itu tentu melihat kehadiran kita. Mereka akan dapat melaporkan kepada kawan-kawannya” sahut yang lain

“Tidak ada salahnya. Kita sudah siap menghadapi orang-orang Sanggar Gading”

“Tetapi kita harus membunuhnya, agar ia tidak dapat menceriterakan apa yang dilihatnya tentang diri kita. Bukankah kita baru akan bertindak setelah tukar menukar itu terjadi” berkata orang yang pertama.

Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Terserahlah. Tetapi kematiannya bukan berarti bahwa kita akan dapat beristirahat sambil tidur nyenyak. Bahwa seseorang atau dua orang Sanggar Gading tidak kembali ke induk pasukannya, akan merupakan perhatian tersendiri”

“Mereka tidak akan membuang waktu untuk mengurusinya. Mereka tentu akan melaksanakan tukar menukar yang aneh itu” jawab yang lain, “baru mereka akan mengurusi orang-orangnya yang hilang”

“Tetapi kita tidak tahu, ada berapa orang di pategalan itu” desis yang lain, “dua, tiga atau bahkan semua orang Sanggar Gading sudah ada di dalam pategalan itu”

“Penakut” sahut kawannya, “Aku akan melihatnya” kedua orang itu pun kemudian turun dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang pohon di pinggir jalan.

“Aku akan melihat”

“Kita bersama-sama” desis yang lain.

Keduanya pun kemudian merayap memasuki pategalan menuju kearah ringkik kuda. Namun mereka pun sadar, bahwa mungkin sekali orang-orang yang berada di pategalan itu sudah beringsut. Karena itu, maka mereka cukup waspada, bahwa tiba-tiba saja mereka itelah berada di dalam jebakan.

Sebenarnyalah, kedua orang Sanggar Gading yang sadar, bahwa kudanya telah melakukan kesalahan, segera menentukan sikap. Mereka tidak menunggu saja didekat kuda yang meringkik itu. Tetapi mereka justru telah merangkak maju. Jika orang-orang berkuda yang lewat itu berusaha mencari mereka, maka keduanya akan menjebak mereka.

Tetapi kedua orang Sanggar Gading itu pun tidak berhasil Demikian mereka siap untuk menyergap, maka kedua orang berkuda itu sudah melihat dedaunan yang bergetar, sehingga mereka pun mengerti, bahwa orang yang dicarinya telah menunggu.

Karena itu, maka kedua orang itu pun justru berhenti. Melihat getar dedaunan itu, maka mereka dapat menduga, bahwa yang berada dibalik gerumbul itu tentu tidak terlalu banyak jumlahnya. Dengan demikian, demikian yakin mereka kepada diri sendiri, sehingga orang-orang itu tidak khawatir sama sekali, bahwa mereka akan mengalami kesulitan.

Sejenak kemudian, maka kedua orang yang baru datang itu, terutama orang yang bernafsu untuk membunuh itu, telah berdiri tegak dan melangkah maju sambil berkata, “Kalian tidak usah bersembunyi disitu. Kalian tidak akan berhasil menjebak kami. Kemarilah, berapapun jumlah kalian”

Orang-orang Sanggar Gading yang kasar itu benar-benar tersinggung. Karena itu, maka mereka pun segera berloncatan keluar. Salah seorang diantara mereka berkata lantang, “Persetan dengan kalian, He, siapakah kalian dan dari kelompok yang mana?”

Kedua orang yang baru datang itu mengerutkan keningnya. Orang yang merasa dirinya terlalu yakin itupun memandang berkeliling sambil berkata, “Mana kawan-kawanmu. Suruhlah mereka hadir disini”

“Untuk apa?” bertanya salah seorang dari orang-orang Sanggar Gading itu.

Orang-orang yang baru datang itu justru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kami siap menghadapi kalian. Menurut pengamatan kami, kalian tentu orang-orang Sanggar Gading”

Kedua orang Sanggar Gading itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata, “Kau salah Ki Sanak. Aku justru sedang menunggu orang-Sanggar Gading”

Kedua orang yang baru datang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang yang pertama bertanya, “Jika kalian bukan orang Sanggar Gading yang menurut pendengaran kami akan datang hari ini, dari golongan yang manakah kalian berdua”

Kedua orang Sanggar Gading itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja yang seorang menjawab, “Kami adalah orang Kendali Putih”

Jawaban itu mengejutkan kedua orang yang baru datang itu. Namun sejenak kemudian keduanya tertawa berkepanjangan. Salah seorang dari keduanya berkata, “Bagus. Jika kau orang-orang Kendali Putih, kau tentu tahu, apakah yang sekarang dikerjakan oleh orang-orang Kendali Putih”

Ketua orang Sanggar Gading itu terdiam. Dipandanginya kedua orang yang tertawa itu sejenak. Seolah-olah mereka memang membiarkan keduanya tertawa sepuas-puasnya.

“Kalian memang bodoh sekali” berkata kedua, orang itu, “dengan pengakuan kalian, aku justru semakin yakin bahwa kau adalah orang-orang Sanggar Gading”

“Kami orang-orang Kendali Putih” sekali lagi orang Sanggar Gading itu menjawab.

“Jangan dungu. Jika kalian orang-orang Kendali Putih, kalian tentu dapat menceriterakan serba sedikit tentang padepokan Kendali Putih” jawab kedua orang yang datang kemudian.

“Apa artinya aku berceritera tentang padepokanku, tentang pemimpin-pemimpinku dan tentang rencana kami. Seandainya menyebutkannya, kalian tidak akan mengetahuinya pula” jawab salah seorang dari kedua orang Sanggar Gading itu.

“O” Orang yang datang kemudian itu tertawa semakin panjang, “betapa bodohnya kalian. Baiklah, Jangan sebut apapun tentang Kendali Putih, Memang tidak akan ada gunanya. Tetapi yang kalian lakukan adalah satu pengakuan, bahwa kalian memang orang-orang Sanggar Gading. Hari Ini orang-orang Sanggar Gading akan datang di daerah Sepasang Bukit Mati untuk membawa Pangeran itu” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi, baiklah. Jika kau memang bukan orang-orang Sanggar Gading, dan kalian mengaku orang-orang Kendali Putih, akulah orang-orang Sanggar Gading itu”

Kedua orang Sanggar Gading itu termenung sejenak. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya tertawa meledak, sementara yang lain tersenyum sambil berkata, “Memang lucu sekali. Kau terlalu cepat menganggap kami orang-orang yang sangat bodoh. Bahkan dungu. Baiklah, jika demikian. Kau akan segera memastikan bahwa kami adalah orang-orang Sanggar Gading, karena tingkah laku kami merupakan pengakuan. Tetapi sebenarnya bahwa yang kau lakukan itupun suatu pengakuan, bahwa kau adalah orang-orang Kendali Putih Bukankah begitu? Jika kau menganggap kami terlalu bodoh maka kami pun menganggap kalian demikian juga”

Kedua orang yang sebenarnya memang orang-orang Kendali Putih itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Katakanlah kau benar, bahwa aku orang Kendali Putih, atau orang manapun juga. Namun bagi kau berdua, tidak akan ada bedanya”

“Mungkin demikian” berkata orang-orang Sanggar Gading, “senjata kami memang tidak pernah memilih korban”

Kedua orang Kendali Putih itu menggerakkan keningnya. Ternyata orang-orang Sanggar Gading itulah yang justru telah mengancam lebih dahulu. Karena itulah agar mereka tidak terpengaruh oleh kegarangan lawannya, salah seorang Kendali Putih itupun berkata, “Kami datang dengan kepentingan yang khusus. Kami mendengar kudamu meringkik. Tidak seorang pun yang boleh mengetahui bahwa kami berada di daerah Sepasang Bukit Mati ini. Karena itu, nasibmu memang buruk sekali. Kudamu tidak berhasil membantumu, justru telah menjerumuskan kalian berdua ke dalam kematian”

Tetapi orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang kasar. Mereka adalah orang-orang yang bercanda dengan maut sejak mereka melampaui padang kematian menjelang padepokan Sanggar Gading. Karena itu, maka merekalah yang tidak telaten berbincang dengan orang-orang Kendali Putih. Maka katanya, “Kita tidak usah banyak bicara. Kau tentu ingin membunuh kami karena kami mengetahui kehadiran kalian. Tetapi kami pun ingin membunuh kalian berdua karena kalian berada disini”

Kedua orang Kendali Putih itupun ternyata tidak kalah kasarnya. Keduanya bahkan segera bersiap dengan senjata mereka. Sambil bergeser mereka mengacungkan senjatanya itu, “Rundukkan kepalamu Aku akan memenggalnya”

Orang-orang Sanggar Gading tidak menjawab. Tetapi senjata mereka telah teracu. Bahkan sejenak kemudian mereka mulai menggerakkan senjata mereka. Salah seorang dari kedua orang Sanggar Gading itu berkata, “Jangan banyak bicara lagi. Kalian akan mati terkapar di pategalan ini”

Orang-orang Kendali Putih tidak menjawab. Namun mereka pun segera bergeser maju. Sentuhan senjata mereka telah disusul dengan loncatan-loncatan yang cepat. Serangan demi serangan telah melibat mereka ke dalam satu pertempuran yang sengit.

Ternyata orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih itu memiliki kemampuan yang seimbang. Mereka saling menyerang dan menghindar. Desak mendesak silih berganti. Masing-masing ternyata telah berusaha untuk bertempur seorang melawan seorang, sehingga sejenak kemudian di pategalan itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran yang seru dan kasar.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Orang-orang Kendali Putih yang garang, harus mengakui betapa kasar dan tangguhnya orang-orang Sanggar Gading. Meskipun demikian, namun orang-orang Sanggar Gading itupun tidak mampu mendesak lawannya, karena orang-orang Kendali Putih itupun dapat bergerak dengan tangkas dan cepat.

Namun demikian, ternyata bahwa kemampuan kedua orang Sanggar Gading dan kedua orang Kendali Putih itu tidak sama. Karena itulah, maka yang terjadi pun tidak sejalan pula.

Orang Kendali Putih yang bernafsu membunuh orang-orang yang berada di pategalan itu telah berhasil mendesak lawannya. Tetapi sebaliknya, kawannya telah mengalami tekanan yang terasa semakin lama menjadi semakin berat.

“Gila” geram orang Kendali Putih itu, “Jangan kehilangan kebesaran nama Kendali Putih. Bunuh saja lawanmu”

Tetapi orang Sanggar Gading itu berkata, “Akhir dari pertempuran ini tidak ditentukan oleh kemampuan kita berteriak-teriak. Tetapi senjata kitalah yang akan lebih banyak menentukan”

Orang Kendali Putih itu menggeram. Yang seorang dari keduanya telah mendesak lawannya semakin berat. Namun dalam pada itu, yang seorang lagi telah mengalami kesulitan untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya.

Tetapi orang Sanggar Gading yang mendapat lawan yang berat itu tidak cepat menjadi putus asa. Meskipun lawannya memiliki kekuatan raksasa, namun ia berusaha untuk mengimbangi kekuatan lawannya itu dengan kecepatan bergerak. Karena itulah, maka ia pun berusaha untuk bertempur dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Bahkan kadang-kadang ia harus meloncat menjauh. Berputar dan kemudian menyerang dengan cepatnya.

Nampaknya usahanya itu dapat berhasil. Tekanan orang-orang Kendali Putih itu terasa tidak lagi terlalu berat. Meskipun demikian, ia harus memeras tenaganya habis-habisan untuk dapat bergerak cepat. Karena jika ia menjadi lamban dan lawannya itu mampu mengimbangi kecepatan geraknya, maka ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, karena ternyata lawannya mempunyai kekuatan yang lebih besar.

Tetapi ternyata ketahanan hati dan kekasaran orang Sanggar Gading itu berhasil membuatnya mampu bertahan beberapa saat. Dan hal itu ikut menentukan pula akhir dari pertempuran itu, karena keseimbangan pada lingkaran pertempuran yang lain semakin berguncang pula.

Orang Sanggar Gading yang lain, telah berhasil menguasai lawannya. Kemampuannya menggerakkan senjata ternyata telah membuat orang Kendali Putih itu menjadi bingung-Kadang-kadang bahkan ia telah kehilangan arah, sehingga serangan-serangan berikutnya adalah serangan-serangan yang sangat berbahaya baginya.

Kawannya yang melihat, berusaha untuk segera menyelesai-kan pertempuran agar ia dapat membantunya. Tetapi orang Sanggar Gading yang bertempur melawannya, ternyata mampu untuk bertahan lebih lama. Dengan loncatan-loncatan panjang dan serangan yang tiba-tiba. Meskipun orang Kendali Putih itu memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi ia sulit untuk bergerak secepat lawannya.

Orang Kendali Putih itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar kawannya berdesah panjang. Ketika ia sempat menengoknya, ia melihat darah mulai menitik dari tubuhnya.

“Gila” geram orang Kendali Putih itu. Meskipun kawannya yang terluka itu masih berusaha untuk bertempur terus, betapapun ia cepat menjadi lemah, namun dari pertempuran itu sudah pasti.

Dengan demikian, maka kemarahan telah memuncak di hati orang Kendali Putih yang seorang. Dengan garang ia menggeram, “Kaulah yang dungu. Kenapa kau sampai terluka. Jangan lengah. Kau adalah orang-orang yang termasuk dalam sejumlah kecil orang-orang yang dapat dibanggakan, karena kau dapat diterima diantara mereka yang sedikit di padepokan Kendali Putih”

Orang itu terdiam karena lawannya, orang Sanggar Gading, telah menyerangnya dengan cepat mengarah ke mulutnya.

“Orang Gila” geram orang Kendali Putih itu.

Sebenarnyalah orang yang sudah terluka itu masih berusaha untuk mengerahkan sisa kemampuannya. Betapapun berat tekanan lawannya, namun ia tidak menyerah dan berputus asa.

Sementara itu, orang Kendali Putih yang seorang lagi, berusaha untuk mendesak lawannya. Ternyata ia memiliki tenaga dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Karena itu, maka ia berhasil memaksa lawannya yang mampu bergerak lebih cepat itu untuk memeras tenaga.

Dalam pada itu, maka orang Kendali Putih itu seolah-olah tidak lagi berusaha untuk menghindari setiap serangan. Tetapi ia selalu membenturkan kekuatannya. Menangkis semua serangan sehingga dalam benturan kekuatan, ia berusaha untuk dengan cepat membuat tenaga lawannya susut.

Ternyata usahanya itupun berhasil. Meskipun orang Sanggar Gading itu mampu bergerak cepat, tetapi benturan-benturan yang terjadi telah membuat tangannya menjadi sakit dan tenaganya pun menjadi susut

Meskipun demikian, ia masih sempat berloncatan. Sekali-sekali ia sempat menyerang dari arah yang sama sekali tidak diduga oleh lawannya. Ketika lawannya membenturkan senjatanya, maka orang Sanggar Gading itu telah dengan cepatnya berhasil mengelabuinya. Benturan itu tidak terjadi, tetapi senjata orang Sanggar Gading itu berputar dengan cepat. Satu loncatan kecil telah menggeser arah serangan orang Sanggar Gading itu, sehingga orang Kendali Putih itupun tidak sempat mengelak lagi.

Dengan demikian, sebuah goresan telah menyobek pundaknya. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi terasa luka itu menjadi pedih oleh keringat yang membasah.

Orang Kendali Putih itu menggeram. Kawannya telah terluka, dan ia sendiri terluka pula. Namun dalam pada itu, orang Kendali Putih itu pun kemudian menjadi semakin garang. Meskipun lawannya mampu bergerak cepat, tetapi melawan tenaga yang besar dan kemarahan yang membara, maka orang Sanggar Gading itu harus sangat berhati-hati karenanya.

Tetapi suatu ketika, orang Sanggar Gading itu telah membuat satu kesalahan. Ketika serangannya dapat ditangkis, ia segera menarik senjatanya meloncat kesamping. Namun ternyata lawannya sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka lawannya telah memotong geraknya dengan sebuah ayunan senjata yang sangat kuat.

Orang Sanggar Gading itu terkejut. Dengan serta merta ia menangkis serangan itu, karena ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk meloncat menghindar. Namun ternyata benturan yang terjadi telah berakibat gawat baginya. Kekuatan orang Kendali Putih itu ternyata tidak terlawan lagi oleh orang Sanggar Gading itu, sehingga ia tidak berhasil mempertahankan senjatanya. Karena itulah, maka senjatanya pun telah terlepas dari tangannya.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh lawannya. Sekali lagi ia menggerakkan senjatanya, tidak terlalu keras dalam ayunan mendatar.

Yang terdengar adalah desahan panjang. Ternyata bahwa senjata itu telah menggores lambung.

Kawannya, orang Sanggar Gading yang telah melukai lawannya, melihat kawannya terluka. Dengan suara bergetar karena marah ia berteriak, “He, kenapa kau serahkan nyawamu pada orang gila itu. Bukankah kau telah berhasil melampaui padang kematian dan menjadi anggauta dari para cantrik dipadepokan Sanggar Gading?”

Orang yang terluka itu tidak sempat menjawab. Tetapi ia bergeser surut sambil memegang lambungnya yang terluka.

Sementara itu lawannya tertawa berkepanjangan. Nampak oleh orang Kendali Putih itu, bahwa lawannya tidak akan dapat bertahan lagi. Ia akan segera mati dan kemudian ia akan dapat bertempur bersama kawannya yang terluka melawan orang Sanggar Gading yang seorang lagi.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja suara tertawanya telah terputus. Ia mendengar kawannya berteriak. Kemudian ia sempat melihat kawannya itu menggeliat dan jatuh di tanah.

“Gila” geramnya.

Pada saat ia terpukau melihat kawannya terjatuh dan nampaknya tidak akan dapat bangkit kembali meskipun barangkali ia masih belum mati.

Karena itu, maka ia harus membuat perhitungan dengan cermat. Orang yang tergores lambungnya itu masih sanggup berdiri meskipun darah mengalir dari lukanya. Sementara kawannya dari Sanggar Gading itu telah terbebas dari lawannya yang terbaring di tanah.

Karena itu, maka orang Kendali Putih itupun segera mengambil sikap. Ia tidak ingin tertangkap atau terbunuh. Sementara dua orang Sanggar Gading itu tentu akan menjadi lawan yang sangat berat baginya.

“Jika aku mati, maka tidak akan ada orang yang memberitahukan peristiwa ini kepada pimpinan kami yang menunggu di lereng bukit itu” berkata orang itu di dalam hatinya.

Dengan demikian maka ia pun harus mengambil keputusan dengan cepat, sebelum orang Sanggar Gading itu sempat mendekatinya.

Disaat orang yang terluka lambungnya itu termangu-mangu, menunggu kemungkinan yang bakal terjadi atasnya, maka terjadilah sesuatu yang mengejutkannya. Orang Kendali Putih itu tidak memburunya dan mempergunakan kesempatan yang pendek sebelum kawannya dari Sanggar Gading membantunya. Namun bahkan orang Kendali Putih itu telah meloncat berlari meninggalkan arena.

Orang yang terluka lambungnya itu tidak sempat meloncat mengejarnya karena perasaan pedih di lambungnya. Sementara itu, kawannya yang telah berhasil menjatuhkan lawannya itulah yang telah bersiap untuk mengejarnya.

Tetapi orang Sanggar Gading itu terlambat beberapa saat. Orang Kendali Putih itupun dengan cepatnya hilang dibalik pepohonan di pategalan.

Meskipun demikian orang Sanggar Gading itu tidak melepaskannya begitu saja. Ia pun masih tetap berusaha mengejar orang Kendali Putih itu. Sekilas ia masih melihat dedaunan yang bergoyang. Karena itu iapun mengerahkan tenaganya untuk memburu.

Ketika ia melihat orang Kendali Putih itu meloncat kearah kudanya dan kemudian berusaha melepaskan talinya, maka ia mulai berpengharapan. Namun ternyata bahwa orang Kendali Putih itu sempat naik ke punggung kudanya.

Orang Sanggar Gading tidak mau melepaskannya begitu saja. Dengan geramnya ia menyerang orang Kendali Putih itu. Namun orang Kendali Putih itu sempat menggerakkan kudanya dan justru dengan tangkasnya ia menangkis serangan lawannya dan sekaligus memutar senjatanya.

Orang Sanggar Gading itu terdorong surut. Ketika ia melangkah lagi, kuda orang Kendali Putih itu rasa-rasanya justru akan menerjangnya sehingga ia harus meloncat kesamping.

Kemudian, tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat menangkap orang Kendali Putih itu. Dengan geram ia memandang kuda yang berderap meninggalkan pategalan itu.

“Gila” geram orang Sanggar Gading itu.

Yang kemudian didapatkannya adalah seekor kuda milik orang Kendali Putih yang terluka itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terasa pedih di lengannya. Ketika ia meraba lengannya, maka jari-jarinya itupun menjadi merah oleh darah.

“Anak iblis“ Orang itu mengumpat, “justru orang itulah yang telah melukai aku”

Untunglah luka itu tidak begitu dalam. Justru pada saat orang Kendali Putih itu melarikan diri, ia masih sempat menggoreskan luka di lengannya.

Orang Sanggar Gading itu kembali kepada kawannya yang terluka. Dilihatnya kawannya duduk dengan wajah yang pucat dan tubuh yang gemetar menahan sakit.

“Cobalah” berkata kawannya, “obati lukamu”. Tetapi orang itu sudah terlalu lemah. Karena itu, maka kawannyalah yang kemudian mencoba untuk menaburkan obat yang memang tersedia pada setiap orang Sangar Gading. Meskipun obat itu terasa pedih di lukanya, tetapi obat itu akan membantu mengurangi arus darah yang mengalir dan bahkan jika tidak terlalu parah, akan dapat memampatkannya.

Dalam pada itu, setelah menaburkan obat pada luka kawannya, orang Sanggar Gading itu pun kemudian menengok orang Kendali Putih yang terbaring diam. Betapapun juga orang Sanggar Gading adalah orang yang kasar dan garang. Meskipun ia melihat orang itu masih bernafas, tetapi tidak ada sedikitpun niatnya untuk menolongnya.

“Persetan dengan kau” geram orang Sanggar Gading. Baginya keadaan seperti itu sudah terlalu sering dijumpainya di padang kematian menjelang padepokan Sanggar Gading yang merupakan daerah pendadaran orang-orang yang melalui jalur jalan menuju ke padepokan, sengaja atau tidak sengaja.

Namun dalam pada itu orang Sanggar Gading itu pun menjadi bimbang. Apakah ia akan membawa kawannya yang terluka itu kembali kepada kawan-kawannya atau ia akan menunggu saja di pategalan itu. Tetapi menilik keadaan kawannya, agaknya ia tidak akan dapat berkuda sendiri.

“Aku akan menyembunyikan saja disini. Aku akan pergi menyusul Rahu. Agaknya orang-orang inilah yang akan dikatakannya kepada Cempaka atau Sanggit Raina” berkata orang itu kepada diri sendiri.

Demikianlah, maka orang Sanggar Gading itu telah membawa kawannya ke tempat yang lebih dalam lagi dan membaringkannya diantara pepohonan di pategalan.

“Tahankan. Kau adalah orang Sanggar Gading. Kau telah berhasil melalui padang perburuan. Jangan mati disini. berkata orang Sanggar Gading itu kepada kawannya yang terluka, di tempat kita bertempur melawan orang-orang Kendali Putih, terdapat salah seorang dari mereka yang hampir mati. Sebentar lagi ia akan mati, dan sementara itu, aku tidak berhasil menangkap kawannya. Bahkan ketika sudah berada di punggung kudanya, ujung senjatanya sempat menggores tubuhku. Tetapi lukaku tidak berarti apa-apa. Aku akan menyusul kawan-kawan kita”

“Bagaimana jika pemilik pategalan ini datang kemari?” bertanya orang Sanggar Gading yang terluka.

“Kau dapat mengancamnya, dan kau dapat menahan orang itu agar tidak meninggalkanmu dan memberitahukan kehadiranmu kepada siapapun juga. Ia akan ketakutan jika kau mengancamnya. Katakan, bahwa kawan-kawan kita akan datang membunuhnya jika ia tidak menurut perintahmu”

“Kalau orang Kendali Putih yang datang dan menemukan aku disini?” bertanya orang itu.

“Sementara itu, orang-orang kita tentu sudah datang” jawab kawannya.

Orang yang terluka itu tidak menjawab. Kawannya sengaja menambatkan seekor kuda milik orang Kendali Putih itu didekat tempat orang Kendali Putih itu terbaring.

Dalam pada itu, maka ia pun segera mempergunakan kudanya sendiri berpacu ke induk pasukannya. Segalanya harus berjalan cepat. Jika orang-orang Kendali Putih bergerak lebih cepat, mungkin akibatnya akan berbeda. Kecuali jika Yang Mulia sengaja mengambil sikap yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya itu.

Sejenak kemudian kuda orang Sanggar Gading itupun berlari bagaikan terbang. Seperti juga orang Kendali Putih yang memacu kudanya ke tempat kawan-kawannya sedang beristirahat.

Tetapi orang Sanggar Gading itu tidak perlu berpacu terlalu lama. Ketika ia sampai di sebuah tikungan, maka ia pun dengan tergesa-gesa menarik kendali kudanya.

Sejenak ia termangu-mangu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa yang datang itu adalah kawan-kawannya. Sementara ia melihat Sanggit Raina berada di paling depan. Karena itu, maka ia pun segera melanjutkan meskipun tidak terlalu kencang.

Rahu menjadi cemas melihat orang yang nampaknya tergesa-gesa itu. Karena itu maka iapun segera mendahului Sanggit Raina menyongsong orang yang datang itu.

“Kenapa?” bertanya Rahu tidak sabar.

“Orang Kendali Putih itu benar datang ke pategalan” jawab orang itu.

“Kendali Putih?” bertanya Rahu.

“Ya. Aku akan melaporkannya” jawab orang itu pula. Rahu tidak menahannya lagi. Kemudian diikutinya orang itu menghadap Sanggit Raina.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sanggit Raina, yang memberi pertanda agar iring-iringannya berhenti

Orang itu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi. Tentang dua orang Kendali Putih yang datang ke pategalan tempat ia menunggu, sehingga kawannya telah terluka cukup parah.

Sanggit Raina mengangguk-angguk. Katanya akan pergi ke pategalan itu. Tetapi aku akan melaporkan, apakah Yang Mulia akan mengambil satu tindakan khusus”

Demikianlah, maka Sanggit Raina telah menyampaikan masalahnya kepada Yang Mulia, yang memimpin iring-iringan itu. Namun ternyata Yang Mulia tetap pada pendiriannya. Katanya, “Kita harus menyelesaikan masalah besar kita dengan anak yang menyebut dirinya Daruwerdi itu. Baru kemudian kita akan berurusan dengan pihak-pihak lain”

“Tetapi bagaimana jika merekalah yang mengambil sikap lebih dahulu” bertanya Sanggit Raina.

“Bersiaplah. Kemungkinan itu memang dapat terjadi” jawab Yang Mulia.

Sebenarnyalah, saat itu orang-orang Kendali Putih telah mengambil keputusan, “Mereka sudah mengetahui kehadiran kita. Karena itu, kita akan datang kepada mereka, merebut Pangeran yang sedang sakit itu. Apapun yang akan terjadi. Jika dengan demikian mereka akan membunuh Pangeran itu, apa-boleh buat. Kita akan bersama-sama tidak memiliki, daripada pusaka itu berada di tangan orang-orang Sanggar Gading”

Keputusan yang tergesa-gesa itu pun telah menimbulkan sikap yang tergesa-gesa pula. Terbakar oleh laporan orang Kendali Putih yang telah kehilangan seorang kawannya, maka pemimpinnya menganggap bahwa tidak ada lagi alasan untuk menunda, karena justru orang Sanggar Gading itu telah mengetahui dengan pasti kehadirannya dan bahkan mungkin justru orang-orang Sanggar Gading itulah yang akan bertindak lebih dahulu.

“Kita tidak boleh membiarkan diri kita dihina sedemikian rupa” berkata seorang yang berkumis lebat, “Selebihnya, bertindak sekarang dan kemudian tidak akan banyak bedanya. Aku kira orang-orang Sanggar Gading tidak akan membunuh Pangeran itu, karena mereka tentu memperhitungkan bahwa pada satu kesempatan yang lain, mereka akan berusaha merebut kembali apa yang terlepas dari tangan mereka hari ini”

Orang-orang Kendali Putih itu mengangguk-angguk. Kemudian pemimpinnya berkata, “Kita akan bertindak sekarang. Kita tahu, diantara mereka terdapat orang yang disebut Panembahan Wukir Gading. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya, kecuali Eyang Rangga”

“Bukankah Eyang Rangga sudah berada di tengah-tengah kita sekarang?” desis orang berkumis lebat itu.

“Ya. Aku akan menghadap dan mengatakan kepadanya. Mudah-mudahan penyakit dungunya tidak kambuh di saat yang gawat ini” berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih itu.

Orang berkumis lebat itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita memang harus minta persetujuannya karena diantara orang-orang Sanggar Gading terdapat Panembahan itu sendiri”

Pemimpin dari orang-orang Kendali Putih itupun kemudian dengan ragu-ragu datang kepada seorang tua yang duduk bersandar sebongkah batu padas sambil menghitung ruas jari-jari tangannya. Tidak ada hentinya-hentinya. Ruas-ruas jari tangannya itu dihitung sejak dari ruas kelingking tangan kiri, sampai ke ruas ibu jari tangan kanan. Kemudian diulanginya kembali menghitung ruas kelingking tangan kirinya dan seterusnya. Tidak seorang pun yang tahu, sampai hitungan angka keberapa yang lelah diucapkannya, atau setiap kali ia mengulang angka-angka dari bilangan permulaan.

Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat pemimpin dari kelompok orang-orang Kendali Putih itu datang mendekatinya.

“Kami akan berbicara sedikit Eyang” berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih itu.

“Marilah” jawab orang tua itu, “Duduklah” Pemimpin orang Kendali Putih itupun kemudian duduk dihadapannya. Sementara untuk sesaat, Eyang Rangga itu masih menghitung ruas jari-jari tangannya.

“Ada yang penting dan mendesak Eyang” berkata pemimpin kelompok orang-orang Kendali Putih itu.

“Ya. ya. Tunggu sebentar . Aku akan membulatkan hitungan ini” jawab Eyang Rangga.

Pemimpin orang-orang Kendali Putih itu tidak mendesak. Jika demikian, mungkin yang terjadi justru berlainan dari yang diharapkan. Jika orang tua itu mulai mengumpat, maka ia harus menunggu lebih lama lagi. Karena itu, maka betapapun juga, ia memaksa diri untuk bersabar.

Dalam pada itu, orang berkumis lebat itu pun telah duduk beberapa langkah di belakang pemimpin kelompok Kendali Putih itu bersama seorang kawannya. Namun justru kawannya itu berbisik perlahan di telinganya, “Mereka harus bertempur sekarang”

“Aku berusaha. Aku sudah membakar kemarahan pemimpin kita” berkata orang berkumis lebat.

“Jika berhasil, maka orang Pusparuri akan menjadi lebih ringan menghadapi keadaan. Keduanya tentu sudah cukup parah. Dan kau akan mendapat hadiah seperti yang kau harapkan itu” desis kawannya.

Orang berkumis lebat itu menyentuh tangannya dengan sikunya. Sementara itu, orang yang disebut Eyang Rangga itu masih menghitung ruas jari-jarinya sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas sambil berdesis, “Aku sudah mencapai hitungan bulat. He, kalian mau apa?”

Pemimpin dari orang-orang padepokan Kendali Putih itu pun kemudian berkata, “Eyang. Ada sesuatu yang penting yang perlu Eyang ketahui”

“Tentang pusaka itu? Atau tentang orang-orang Sanggar Gading?” bertanya Eyang Rangga.

“Tentang orang-orang Sanggar Gading” jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih itu.

“Katakan?” sahut Eyang Rangga.

Pemimpin kelompok Kendali Putih itupun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Dan seorang Kendali Putih telah menjadi korban.

Pemimpin orang-orang padepokan Kendali Putih itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Eyang Rangga itu tertawa. Katanya, “Baru seorang diantara kita mati, kau sudah menjadi gelisah. Kau harus sadar, bahwa yang kemudian akan mati jumlahnya akan meningkat menjadi separo diantara kita. Mungkin kau, aku dan he, siapa yang duduk disana?”

Pemimpin Kendali Putih itu berpaling. Dilihatnya orang berkumis lebat dan seorang kawannya duduk beberapa langkah dibelakangnya.

“Orang-orang kita” jawab pemimpin Kendali Putih itu, “ialah yang memberikan pertimbangan dan sesuai dengan perhitunganku pula, bahwa sebaiknya kita mendahului orang-orang Sanggar Gading. Soalnya bukan satu kegelisahan karena kematian, tetapi justru karena harga diri dan perhitungan-perhitungan lain. Bagiku, kita lebih baik mendahului orang-orang Sanggar Gading daripada kita harus bertahan disini”

Eyang Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kita akan menyerang orang-orang Sanggar Gading? Menurut perhitunganmu, mereka tentu berada di pategalan, di tempat seorang kawannya terluka. Bukankah begitu?”

“Ya. Jika mereka masih belum ada di pategalan, kita akan menunggu sampai saatnya mereka lewat. Lebih baik kita beristirahat di pategalan itu sekaligus mencegat orang-orang Sanggar Gading daripada kita menunggu disini” jawab pemimpin orang-orang Sanggar Gading itu.

Orang yang disebut Eyang Rangga itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Terserah menurut pertimbanganmu. Aku sudah siap kapan pun dan dimanapun”

“Terima kasih Eyang” jawab pemimpin kelompok orang-orang Kendali Putih itu.

“Apa yang terima kasih” tiba-tiba saja Eyang Rangga itu bertanya.

“Kesediaan Eyang” jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih.

“Gila” tiba-tiba Eyang Rangga itu membentak, “Apa maumu sebenarnya he?”

Pemimpin orang-orang Kendali Putih itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

“Aku sudah sampai disini. Kau masih mengucapkan terima kasih atas kesediaanku. He, apakah kau sudah kesurupan hantu bukit mati itu?” Eyang Rangga itu membentak semakin keras.

Pemimpin orang-orang Kendali Putih itu sama sekali tidak menjawab. Ia sudah mengenal tabiat orang yang disebut Eyang Rangga, sehingga dengan demikian maka pemimpin orang-orang Kendali Putih itu diam saja ketika Eyang Rangga itu mengumpat-umpat berkepanjangan. Sepatah kata saja ia menjawab, Eyang Rangga akan dapat mengambil sikap yang tidak menguntungkan.

Namun dalam pada itu, meskipun sambil mengumpat-umpat, orang yang disebut Eyang Rangga itupun mengemasi dirinya.

Tiba-tiba saja iapun berteriak, “Antarkan aku kepada orang yang menyebut dirinya Panembahan Wukir Gading. Aku yakin bahwa ia adalah orang yang sakti. Tetapi justru karena itu, aku memerlukannya”

Pemimpin gerombolan dari padepokan Kendali Putih itu pun kemudian meninggalkan Eyang Rangga yang sedang membenahi diri. Diperintahkannya para pengikutnya untuk bersiap-siap. Mereka akan berangkat menyongsong orang-orang Sanggar Gading.

“Kita tidak akan menunggu sampai esok” berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih itu, “Kita akan membinasakan mereka dan mengambil Pangeran itu dari tangan mereka. Apapun yang akan terjadi, kita tidak akan menunggu orang-orang itu datang menyerang kita dari punggung”

Orang-orang Kendali Putih itu pun segera mempersiapkan diri. Orang-orang yang berkumis lebat dan kawannya pun menjadi sibuk. Namun dalam pada itu kawannya berkata, “Kita akan melihat, apa yang akan terjadi. Mungkin orang-orang Sanggar Gading itu akan binasa, tetapi sebagian dari orang-orang Kendali Putih ini pun akan terbunuh. Atau yang terjadi sebaliknya. Orang-orang Kendali Putih akan binasa, dan orang-orang Sanggar Gading akan mengalami penyusutan yang gawat”

“Kau memang iblis. Kau kira dengan demikian orang-orang Pusparuri akan dengan mudah mengambil alih persoalan-persoalan pusaka itu dari tangan Daruwerdi?” bertanya orang berkumis lebat.

Kawannya tertawa. Katanya, “Hubungan Daruwerdi dengan orang-orang Pusparuri sangat baik. Ketika orang-orang Kendali Putih membunuh orang-orang Pusparuri, Daruwerdi mengambil sikap yang tegas terhadap orang-orang Kendali Putih”

“Tetapi masalahnya bukan karena Daruwerdi berpihak” jawab orang berkumis itu, “Ia berharap bahwa orang-orang Pusparuri akan dapat memenuhi tuntutannya. Tetapi ternyata orang-orang Pusparuri hanya pandai membual saja”

Kawannya tertawa. Katanya, “Tetapi kau sudah berusaha berkhianat terhadap kawan-kawanmu. Karena itu, berusahalah jangan mati dibunuh oleh orang-orang Sanggar Gading, agar kau sempat menerima hadiah dan ikut dalam kelompok yang lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya, Pusparuri”

Orang berkumis tebal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak peduli. Aku memerlukan sesuatu yang dapat aku pergunakan bagi hidupku dan keluargaku dengan baik”

Kawannya tertawa. Katanya, “Baiklah. Terserah kepadamu. Tetapi pertempuran yang akan terjadi tentu akan sangat menarik. Orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang panas yang haus darah”

Orang berkumis lebat itu masih mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia memang tidak dapat membantah, bahwa ia sudah berkhianat terhadap orang-orang Kendali Putih sekedar untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi bahwa ia telah berada dilingkungan orang-orang Kendali Putih dengan mempertaruh-kan badan dan nyawanya, sebenarnyalah semuanya itu untuk kepentingan keluarganya juga. Untuk menghidupi dan sedikit menyenangkan mereka dengan penghasilan yang sedikit lebih baik dari para petani tetangga-tetangganya.

Bulu-bulunya bagaikan meremang, jika pada suatu saat ia kembali mengunjungi anak isterinya, satu dua orang tetangganya menemuinya dan bertanya, apakah kerjanya di rantau.

Orang berkumis lebat itu selalu membual dengan ceritera yang sama sekali tidak masuk akal. Tetapi karena tetangga-tetangganya adalah orang-orang yang berpikir sederhana, maka mereka tidak pernah berprasangka. Mereka mengira, bahwa orang berkumis lebat itu benar-benar seorang pedagang yang mengelilingi satu tempat ke tempat lain dengan dagangannya. Jika pulang ia selalu membawa uang yang cukup membuat tetangga-tetangganya menjadi iri, sehingga kehidupan anak isterinya di kampung halamannya, menjadi cukup terpandang.

Tetapi akhirnya ia merasa bahwa hidup diantara orang-orang Kendali Putih adalah hidup di dalam bayangan maut. Setiap saat nyawanya dapat direnggut oleh ujung pedang atau tombak. Karena itulah, maka semakin banyak umurnya, semakin gelisah lah perasaannya. Sehingga pada suatu saat ia memerlukan hidup yang tentram diantara anak dan isterinya.

Namun setiap kali timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Apakah aku masih mempunyai kesempatan hidup tenteram dengan tangan yang bernoda darah karena kematian demi kematian?”

Tetapi orang berkumis tebal itu selalu berusaha mengusir pertanyaan itu, meskipun setiap kali pertanyaan itu datang kembali.

Terakhir ia telah mengambil satu keputusan yang berbahaya. Bahkan ia telah mendorong satu peristiwa yang dahsyat. Jika ia berhasil membakar hati pemimpin orang-orang Kendali Putih itu atas permintaan orang Pusparuri yang kebetulan dikenalnya, maka akan terjadi kematian yang menggetarkan jantung. Benturan antara orang-orang Kendali Putih dan orang Sanggar Gading akan merupakan benturan kekuatan yang mengerikan.

“Yang aku punya semuanya sudah bernoda darah. Apa boleh buat. Aku akan melengkapinya dengan darah pula. Baru kemudian aku akan membersihkannya” berkata orang berkumis lebat itu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka iring-iringan orang Kendali Putih itu pun mulai bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk bersembunyi lagi. Mereka akan menempuh jalan terbuka menuju ke pategalan. Jika orang-orang Sanggar Gading belum lewat, maka mereka akan menunggu. Tetapi jika orang-orang Sanggar Gading telah melampaui pategalan itu, maka mereka akan menyusul.

“Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari orang-orang Kendali Putih itu bertanya, “Bagaimana jika orang-orang Sanggar Gading itu ternyata mengambil jalan lain?”

“Kita akan menyusulnya. Tetapi tidak ada jalan lain menuju ke bukit gundul itu. Jika mereka melingkari bukit berhutan ini, maka mereka memerlukan waktu yang sangat lama, karena jalannya akan berlipat panjangnya. Meskipun demikian hal itu pun dapat juga terjadi. Apalagi jika orang-orang Sanggar Gading telah mengetahui persembunyian kita di lereng bukit itu. Mungkin mereka justru akan melingkar dan menyerang kita dengan tiba-tiba, sementara kita sudah berada di pategalan”

Memang masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi Tetapi kemungkinan yang paling besar menurut perhitungan pemimpin orang-orang Kendali Putih itu adalah, bahwa orang-orang Sanggar Gading akan memasuki daerah Sepasang Bukit mati ini lewat pategalan. Apalagi dua orang diantara orang-orang Sanggar Gading justru sudah berada di pategalan itu.

Dalam pada itu, ketika orang-orang Kendali Putih itu meninggalkan lereng bukit berhutan, maka Kiai Kanthi pun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia melihat segalanya yang telah dilakukan oleh orang-orang Kendali Putih. Ia pun melihat orang-orang Kendali Putih itu meninggalkan lereng bukit berhutan itu.

Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Ketajaman penglihatannya, telah menunjukkan kepadanya, bahwa diantara orang-orang Kendali Putih itu terdapat orang yang dikenalnya. Orang yang selalu menghitung ruas tangannya sejak masa mudanya.

“Iblis itu ada disana pula” desis Kiai Kanthi kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, ia pun menjadi ragu-ragu. bahwa iblis yang selalu menghitung ruas jari-jarinya itu benar-benar bekerja untuk kepentingan orang-orang Kendali Putih.

“Keadaan akan benar-benar menjadi gawat” berkata Kiai Kanthi, “iblis itu akan bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Penembahan Wukir Gading. Dengan kehadiran mereka, apakah artinya Daruwerdi, Jlitheng dan pemburu-pemburu itu? Dan apakah Pangeran yang diperebutkan itu tidak akan berbuat sesuatu, dan membiarkan dirinya menjadi barang yang akan dipertukarkan begitu saja?”

Berbagai pertanyaan telah berkembang di dalam hatinya. Sementara itu, ia pun mengamati arah perjalanan orang-orang Kendali Putih yang semakin jauh meninggalkan bukit berhutan itu.

Sementara itu, dari arah lain, dua orang sedang mengamati iring-iringan itu pula. Mereka tidak mengerti apa yang telah terjadi di pategalan. Namun mereka menduga, bahwa orang-orang Kendali Putih itu akan langsung menyerang Sanggar Gading tanpa menunggu setelah orang-orang Sanggar Gading menyerahkan Pangeran yang mereka bawa kepada Daruwerdi.

“Kita akan mengikuti” berkata Semi.

“Berbahaya sekali. Di tempat yang terbuka, kita akan sulit untuk mencari perlindungan” jawab kawannya.

Semi merenungi kata-kata kawannya itu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita tidak akan mengikutinya secara langsung. Kita menunggu mereka melintasi bulak. Sementara kita dapat mengikuti jejaknya”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita dapat berbuat demikian. Dan kita pun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Rahu tentu akan terlibat dalam pertempuran jika benar orang-orang itu akan langsung menyerang iring-iringan dari Padepokan Sanggar Gading”

“Bagaimana cara kita untuk menghubunginya” desis Semi.

“Kita memang harus menunggu dan melihat segala peristiwa yang terjadi” desis kawannya, “baru kita akan dapat mengambil sikap berdasarkan atas pengamatan itu”

Semi mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus dapat mengambil satu sikap dengan cepat dan mapan. Marilah. Kita akan mengikuti jejak orang-orang berkuda itu”

Dengan demikian, maka Semi dan kawannya pun telah mengikuti jejak orang-orang Kendali Putih menuju ke pategalan. Namun mereka harus berhati-hati. Mereka tidak boleh terlalu dekat, karena dengan demikian, mereka akan dapat terjerumus ke dalam keadaan yang sangat gawat. Jika mereka memasuki sebuah bulak panjang, maka mereka pun harus menunggu beberapa saat, sehingga mereka yakin, bahwa orang-orang Kendali Putih itu telah melampaui padesan disebelah bulak itu.

“Nampaknya orang-orang berkuda itu sudah mempunyai bahan-bahan yang pasti tentang kekuatan orang-orang Sanggar Gading” berkata Semi kemudian, “Jika tidak mereka tidak akan dengan pasti pula menyongsongnya”

“Nampaknya memang demikian” sahut kawannya, “justru karena itu, keadaan orang-orang Sanggar Gading akan menjadi gawat. Mereka akan mendapat lawan yang seimbang, karena orang-orang berkuda itu tentu sudah memperhitungkan dengan cermat”

“Dalam benturan yang akan terjadi, maka kedua belah pihak akan banyak kehilangan. Keduanya akan menjadi sangat lemah. Pada saat yang demikian pihak ketiga akan dengan mudah menghancurkan mereka” berkata Semi selanjutnya.

“Mungkin pihak ketiga itu adalah kekuatan Daruwerdi sendiri” desis kawannya.

“Mungkin. Memang mungkin. Tetapi juga mungkin pihak lain” sahut Semi.

Namun tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara batuk di belakang mereka pada saat mereka menunggu sejenak di mulut padukuhan dihadapan bulak panjang. Karena itu, maka dengan serta merta keduanya berpaling.

Tetapi keduanya menarik nafas panjang ketika mereka melihat Kiai Kanthi berdiri di pinggir jalan beberapa langkah di belakang mereka.

“Angger akan mengikuti orang-orang berkuda itu?” bertanya Kiai Kanthi.

“Ya Kiai” jawab Semi, “Tidak ada lain untuk mengetahui perkembangan persoalan yang tumbuh di daerah ini”

“Angger harus berhati-hati” berkata Kiai Kanthi, “nampaknya orang-orang berkuda itu terdiri dari orang-orang Kasar dan orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

“Nampaknya memang demikian. Karena itu, kami tidak mengikuti mereka langsung. Kami terpaksa mengikuti jejaknya.

“Bagus. Angger sudah melakukan tugas angger dengan baik” berkata Kiai Kanthi, “apalagi diantara mereka terdapat seorang iblis yang berilmu tinggi”

“Siapa?” bertanya Semi.

Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Berhati-hati sajalah. Ketajaman pengamatan dan kecepatan berpikir untuk menentukan satu sikap akan menentukan segala-galanya”

Semi dan kawannya mengangguk-angguk. Sambil memandang kedepan Semi bergumam, “Baiklah Kiai. Nampaknya orang-orang berkuda itu sudah melampaui padukuhan di depan. Aku akan menyusul mereka”

Kiai Kanthi pun memandang ke bulak panjang dihadapannya Katanya kemudian, “Silahkan ngger”

“Bagaimana dengan Kiai?” bertanya Semi.

Kiai Kanthi tertawa. Namun Semi berkata, “Aku mengerti serba sedikit tentang Kiai Kanthi”

Kiai Kanthi tidak menjawab. Bahkan ia berkata, “Silahkan ngger. Nampaknya jalan sampai ke padukuhan di depan sudah aman. Berhati-hatilah di setiap langkah seperti yang angger lakukan kali ini. Mungkin orang-orang itu berhenti di padukuhan di depan”

Semi dan kawannya pun kemudian melanjutkan perjalanan. Mereka memperhitungkan bahwa orang-orang Kendali Putih itu tentu sudah melewati padukuhan di depan, sehingga mereka pun akan dapat melintasi padukuhan itu pula.

“Agaknya Kiai Kanthi tahu dengan pasti, siapakah yang beriringan di depan” gumam Semi.

“Mungkin. Ia dapat menyebut salah seorang diantaranya. Bahwa ia menyebut iblis berilmu tinggi tentu bukan sekedar mengigau” desis kawannya.

Namun keduanya tidak pasti, apakah Kiai Kanthi mengetahui gerombolan apakah yang berada di depan mereka.

Sementara itu, orang-orang Kendali Putih itu berjalan tanpa berhenti. Mereka sudah memutuskan untuk memotong gerakan orang-orang dari padepokan Sanggar Gading untuk merebut Pangeran yang akan ditukar dengan sebilah pusaka yang tiada taranya.

Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan Mereka selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bukan mustahil bahwa tiba-tiba saja ditikungan mereka langsung membentur iringan-iringan orang-orang Sanggar Gading. Karena itulah, maka orang-orang yang berada di depan sudah siap menarik senjata mereka setiap saat.

Dalam pada itu, orang-orang Sanggar Gading pun menjadi semakin maju pula mendekati pategalan. Karena itu, mereka pun menjadi semakin berhati-hati pula. Sanggit Raina kemudian berada di paling depan. Disampingnya Cempaka memandang jauh kedepan. Di belakang kedua Rahu dan orang yang telah bertempur melawan orang Kendali Putih itu.

Sejenak kemudian orang yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih itu pun berdesis di belakang Sanggit Raina, “Itulah Pategalan yang aku katakan. Seorang kawan kita berada ditempat itu”

“Mungkin anak itu sudah mati” desis Sanggit Raina.

“Aku harap ia masih mampu bertahan” desis orang yang telah bertempur di pategalan itu.

Sanggit Raina telah mempercepat derap kudanya. Ia ingin segera sampai di pategalan itu dan melihat, apakah salah seorang diantara mereka yang terluka itu masih hidup.

Ketika mereka sampai di ujung pategalan itu, maka Rahu lah yang kemudian mendahului Sanggit Raina bersama orang yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih. Mereka tidak lagi mempertimbangkan tanaman yang terinjak kaki kuda. Mereka menembus batas dengan pagar lanjaran bambu yang dijalari oleh batang-batang kacang panjang. Bahkan mereka pun telah menerobos pohon ketela yang nampak tidak terlalu subur.

Sanggit Raina dan Cempaka pun kemudian mengikuti mereka setelah mereka memberi isyarat agar yang lain menunggu mereka diluar pategalan.

“Ada apa?” bertanya Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.

“Kita sudah sampai ke pategalan yang dimaksud” jawab salah seorang pengawalnya.

“Sanggit Raina sedang melihat mereka?” bertanya Yang Mulia.

“Anak yang terluka itu. Hanya seorang” sahut pengawalnya.

“Jangan lengah. Awasi keadaan. Mungkin orang-orang gila itu akan datang. Mungkin mencari kawannya yang terluka, tetapi mungkin dengan sengaja ingin menyerang kita”

“Kita sudah siap. Pangeran itu sudah berada di bawah pengawalan khusus. Mudah-mudahan sakitnya tidak semakin gawat, sehingga akan menjadi persoalan tersendiri. Jika Pangeran itu mati karena penyakitnya, maka segalanya akan gagal” desis pengawalnya.

“Ia sudah berada di bawah perawatan orang yang tepat” berkata Yang Mulia.

Pengawalnya mengangguk-angguk, sementara Yang Mulia itu berkata, “Taruhlah dua orang pengawas di ujung yang lain dari pategalan ini, selama kita menunggu Sanggit Raina”

Pengawal itu mengangguk. Kemudian diperintahkannya dua orang kawannya mendahului sampai di ujung pategalan untuk mengawasi keadaan.

Dalam pada itu, Sanggit Raina dan Cempaka pun telah menemukan orang yang terluka. Rahu dan seorang kawannya yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih, yang bahkan sudah tergores ujung senjata itupun telah berjongkok disamping kawannya yang terluka itu.,

“Bagaimana?” bertanya Sanggit Raina.

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Parah sekali. Tetapi masih mungkin untuk dicoba mengobatinya”

“Panggil dukun itu” desis Sanggit Raina kepada Cempaka.

Sepeninggal Cempaka, maka Rahu pun berkata, “Ia pingsan. Mungkin setitik air akan dapat memberikan kesadaran kepadanya.

“Dimana kita mendapat air?” bertanya Sanggit Raina. Rahu pun termangu-mangu. Namun kemudian ia melihat pohon nyiur di batas pategalan itu. Karena itu, maka sambil menunjuk batang nyiur yang kurus itu ia berkata, “Lihat. Ada juga beberapa buah kelapa tersangkut pada janjangnya”

“Kau dapat memanjat setinggi itu?” bertanya Sanggit Raina.

“Aku dapat” sahut orang yang telah bertempur melawan orang-orang Kendali Putih itu.

“Cepat. Mudah-mudahan dapat menolongnya” Orang itupun kemudian dengan tergesa-gesa telah memanjat sebatang pohon nyiur yang kekurus-kurusan, namun yang masih juga memberikan beberapa buah kelapa di pangkal daun-daunnya.

Ternyata orang itu memang pandai memanjat. Ia hanya memerlukan waktu yang pendek untuk sampai ke puncak. Kemudian dengan tergesa-gesa telah memetik beberapa buah kelapa yang ada. Yang muda tetapi juga yang tua.

“Mungkin akan berguna” gumannya, “setidak-tidaknya dapat melepaskan haus”

Ketika ia sudah siap untuk meluncur turun, tanpa disengaja, orang itu telah menebarkan pandangan matanya ke sekeliling pategalan. Tiba-tiba saja darahnya tersirap. Hampir saja ia meloncat turun. Untunglah bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga iapun berkisar berlindung dibalik batang nyiur itu sambil meluncur turun.

Demikian ia menjejakkan kakinya di tanah, maka ia pun segera berlari-lari mendapatkan Sanggit Raina dan Rahu yang sedang sibuk mengupas kelapa dengan pedangnya.

“Mereka datang” Orang itu hampir berteriak.

“Siapa?” bertanya Sanggit Raina.

“Orang-orang Kendali Putih. Aku melihatnya dari batang nyiur itu” jawab orang itu.

“Apakah kau tidak mengigau?” Rahu menegaskan.

“Aku yakin bahwa penglihatanku masih bening” jawab orang itu.

Sanggit Raina melepaskan kelapa di tangannya. Kemudian sambil bangkit ia berkata, “Aku akan memberitahukan kepada Yang Mulia. Cobalah menolong orang itu agar tidak terlanjur mati disini”

Sanggit Raina pun kemudian meloncat ke punggung kudanya. Dan dengan tergesa-gesa menemui Yang Mulia. Ketika ia berpapasan dengan Cempaka bersama seorang dukun yang dipanggilnya, maka Katanya, “Cepat, antarkan orang itu. Lalu kau temui aku”

Cempaka pun kemudian mengantarkan dukun itu, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia pun kembali menyusul Sanggit Raina.

Ternyata titik air nyiur yang muda itu memberikan kesegaran kepada orang yang terluka parah, sementara dukun yang kemudian berjongkok disampingnya itupun mulai mengobatinya.

“Tolonglah orang ini” berkata Rahu, “Aku akan menemui Sanggit Raina dan Cempaka”

Ketika Rahu sampai ke induk pasukannya. Sanggit Raina telah berbicara dengan Yang Mulia mengenai orang-orang Kendali Putih yang menuju ke Pategalan itu pula.

“Kita tidak akan lari” berkata Yang Mulia.

Sanggit Raina mengangguk-angguk. Ia pun berpendapat, bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan menghadapi sekelompok orang yang menyerang mereka. Karena itu, maka Katanya, “Aku akan menyiapkan orang-orang kita. Kita akan membinasakan orang-orang Kendali Putih. Jika mereka berani menyerang kita, maka mereka tentu telah salah menilai”

Yang Mulia tertawa. Katanya, “Bagus. Kita akan bertempur”

“Ya. Kita akan bertempur di pategalan ini dan sekitarnya” jawab Sanggit Raina. Namun kemudian, “Tetapi bagaimana dengan Pangeran itu”

“Ia adalah sasaran utama orang-orang Kendali Putih” jawab Yang Mulia, “karena itu lindungi Pangeran yang sedang sakit itu”

“Baiklah. Aku akan menyiapkan sekelompok orang terpilih untuk melindunginya” jawab Sanggit Raina.

Namun dalam pada itu, Yang Mulia itupun berkata, “Kali ini kita akan bertempur diatas punggung kuda. Medan kita cukup luas. Orang-orang kita memiliki kemampuan berkuda sambil mempermainkan senjatanya. He, bagaimana pendapatmu?”

Sanggit Raina menebarkan tatapan matanya ke seputarnya. Ia memang melihat satu medan yang luas. Pategalan yang berpohon-pohon. Bahkan ada beberapa jenis pohon buah-buahan dan pohon kelapa. Kemudian disebelah pategalan itu adalah padang ilalang yang kekuning-kuningan, sementara di sebelah lain adalah sawah yang mulai dijamah oleh air yang naik dari sungai kecil yang menjadi persoalan bagi anak-anak muda di Lumban.

“Aku sependapat” tiba-tiba saja Sanggit Raina menjawab, “medan ini sangat menyenangkan bagi pertempuran berkuda. Kita sudah siap menghadapi orang-orang Kendali Putih yang bodoh itu”

“Perintahkan orang-orang kita menyebar” berkata Yang Mulia, “Aku sendiri akan memimpin pertempuran ini. Jangan kau lupakan Pangeran itu. Ia memerlukan perlindungan. Tetapi itu lebih baik. Jika ia tidak sedang sakit, maka ia akan mengambil kesempatan yang tidak kita duga sebelumnya”

Sanggit Raina pun kemudian meninggalkan Yang Mulia yang segera menyiapkan dirinya pula. Ia memilih bertempur diatas punggung kudanya. Sementara Sanggit Raina pun segera menemui Cempaka dan kemudian memanggil Rahu pula.

“Kita akan bertempur diatas punggung kuda” desis Sanggit Raina.

“Menarik sekali” Cempaka tersenyum. Ia adalah seorang yang memiliki kemampuan berkuda. Kudanya pun kuda tegar yang dapat dipercaya, yang seolah-olah mengerti, apa yang harus dilakukan”

“Aturlah orang-orang kita” berkata Sanggit Raina kepada adiknya, lalu katanya berbisik, “Kau dan Rahu, segera menemui aku setelah persiapan ini selesai”

Rahu tidak mencari arti yang lain kecuali benar-benar kegelisahan menghadapi serangan orang-orang Kendali Putih, meskipun ia hampir belum pernah melihat hal itu pada Sanggit Raina yang kemudian bergeser mendekati Yang Mulia. Ia adalah orang yang tabah dan seakan-akan segala tantangan pasti dihadapinya dengan dada tengadah.

Cempaka dan Rahu pun kemudian segera terpisah memberikan perintah kepada orang-orang Sanggar Gading untuk bersiap-siap, karena sebentar lagi, orang-orang Kendali Putih akan datang menyerang.

“Kita mengelakkan lawan. Tetapi jika mereka datang, kita tidak akan lari terbirit-birit” berkata Cempaka. Lalu katanya lebih lanjut ketika kalian memasuki Sanggar Gading, kalian lelah melalui daerah pendadaran yang paling garang dari segala padepokan yang manapun juga. Kalian telah melewati padang perburuan yang juga merupakan padang kematian. Dan kalian yang masih hidup sampai ke padepokan Sanggar Gading tentu orang-orang terpilih yang berhasil menyusup jari-jari maut di padang kematian itu. Sekarang kalian menghadapi orang-orang dari padepokan kecil yang menyebut padepokannya itu Kendali Putih, Padepokan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, kita menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir” Cempaka berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya, “Jawab. Siapa yang tidak sanggup melakukannya?”

Tidak seorang pun yang menyahut. Bahkan mata orang-orang Sangar Gading itu mulai menyala. Karena itu, ketika Cempaka bertanya untuk kedua kalinya dengan pertanyaan yang berbeda, maka sorak mereka pun telah meledak.

“Marilah” berkata Cempaka lantang, “Kita binasakan orang-orang Kendali Putih. Bukankah kalian sanggup melakukan”

“Sanggup, sanggup” jawaban itu meledak.

Yang Mulia tersenyum melihat orang-orangnya bersorak dengan panah api kebencian. Perlahan-lahan ia berdesis kepada Sanggit Raina yang telah berada didekatnya, “Adikmu memang anak gila. Tetapi ia berhasil membakar jantung orang-orang kita. Aku senang melihatnya, karena dengan jiwa yang dibakar oleh dendam dan kebencian, tenaga kita akan menjadi berlipat. Kemampuan kita pun seakan-akan meningkat ganda”

Sanggit Raina pun mengangguk-angguk. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Sanggit Raina melihat, orang-orang Sanggar Gading itu mulai berpencar. Sementara Cempaka berteriak, “Kita akan bertempur di atas punggung kuda, Jika orang-orang Kendali Putih berloncatan, turun, maka mereka akan kita gilas dengan kaki-kaki kuda kita disamping ujung-ujung senjata”

Sekali lagi orang-orang Sanggar Gading yang mulai berpencar itu telah bersorak bagaikan membelah langit.

Sementara itu, orang-orang Kendali Putih sudah menjadi semakin dekat Karena itu, maka mereka pun telah mendengar sorak orang-orang Sanggar Gading yang bagaikan mengguncangkan pategalan dihadapan mereka.

“Mereka tentu sudah melihat kita” berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih itu, “nampaknya mereka sudah siap menunggu”

“Apa salahnya” jawab Eyang Rangga, “Aku lebih senang bertempur beradu dada dari pada kita harus menyelinap menunggu lawan lengah”

“Ya, ya” jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih, “Aku juga sependapat. Karena itu, kita akan menghadapi mereka dengan jantan karena kita tidak merunduk dari belakang.

“Katakanlah yang lain. Kau hanya mengulangi kata-kataku meskipun kau pergunakan susunan kalimat yang lain” tiba-tiba saja Eyang Rangga membentak.

Pemimpin kelompok orang Sanggar Gading itu tidak menjawab. Perhatiannya sudah tertuju ke pategalan yang nampak di kejauhan. Bahkan ketajaman penglihatannya sudah mulai menangkap gerak yang samar-samar. Orang-orang berkuda.

Karena itu, maka pemimpin orang-orang Kendali Putih itu pun segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk berhati-hati. Dengan lantang ia berkata, “Nampaknya mereka ingin menghadapi kita diatas punggung kuda. Memang menyenangkan sekali. Pategalan itu cukup luas untuk bermain-main. Berhati-hatilah. Pergunakan senjata panjang”

“Ya” desis Eyang Rangga, “iblis tua itu menang seorang penunggang kuda yang ulung. Tetapi nampaknya ia tidak tahu aku ada disini dan ia pun tidak tahu, bahwa masa mudaku, aku adalah pelaku sodoran yang sulit dicari tandingnya.

Demikianlah, maka orang-orang Kendali Putih itu pun telah bersiap-siap pula. Mereka melihat semakin jelas, bahwa orang-orang Sanggar Gading berpencar diatas punggung kudanya. Karena itu, maka hampir pasti bahwa mereka akan bertempur diatas punggung kuda.

“Mereka mengira bahwa kalian tidak mampu memegang kendali kuda sambil menggenggam senjata” berkata pemimpin orang-orang Kendali Putih itu, “tunjukkan kepada orang-orang Sanggar Gading, bahwa kalian mampu mengimbangi, bahkan kemudian kalian harus membuktikan, bahwa kalian dapat melampaui kemampuan setiap orang dari orang-orang Sanggar Gading itu”

Orang-orang Kendali Putih itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka terbiasa hidup dengan noda-noda darah, namun mereka pun mendengar bahwa orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang yang seliar orang-orang Kendali Putih. Merekapun pernah mendengar padang yang terbentang dihadapan Padepokan Sanggar Gading. Sebuah padang pendadaran yang sering disebut padang Kematian.

Jarak dari kedua kelompok orang-orang yang paling garang itu pun menjadi semakin dekat. Karena itu, maka senjata-senjata mereka pun mulai teracu.

Dalam pada itu, seperti pesan Sanggit Raina, ketika persiapan sudah selesai, maka Cempaka dan Rahu pun menghampirinya. Sejenak mereka termangu-mangu mendengar pesan Sanggit Raina. Balikan wajah-wajah mereka menjadi tegang.

“Tidak ada pilihan lain” berkata Sanggit Raina, “Kita harus berani menghadapi akibat yang betapapun gawatnya. Batas terakhir dari kegagalan kita adalah mati dalam keadaan apapun juga. Jika kita sudah meletakkan dasar yang demikian, maka tidak ada yang akan kita takutkan lagi untuk bertindak apapun juga”

Cempaka mengangguk-angguk, sementara Rahu memandang ke sekelilingnya.

“Marilah” berkata Sanggit Raina, “Aku akan memerintahkan orang-orang kita menyongsong mereka. Benturan itu akan menentukan kebesaran hati kita dalam pertempuran selanjutnya”

Cempaka dan Rahu pun kemudian meninggalkan Sanggit Raina, untuk memimpin sekelompok kecil orang-orang Sanggar Gading yang tetap akan bersembunyi dibalik rimbunnya pategalan. Dibelakang mereka, ampat orang mengawal Pangeran yang sedang sakit, yang nampaknya tidak berdaya sama sekali. Sementara Sanggit Raina akan berada di tempat terbuka bersama para pengikutnya yang lain. Yang berada di tempat terbuka itulah yang akan menyongsong orang-orang Kendali Putih. Kemudian Cempaka dan Rami akan membawa orang-orangnya yang berjumlah kecil itu menyusur lewat bagian dalam pategalan dan akan menyerang orang-orang Kendali Putih dari lambung.

Demikianlah, sejenak kemudian, Sanggit Raina menganggap bahwa waktunya telah datang. Karena itu, maka ia pun mendekati Yang Mulia Panembahan Wukir Gading untuk minta perintahnya

“Lakukan” desis Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.

Sanggit Raina pun kemudian menyiapkan kudanya yang tegar di paling depan dari orang-orang Sanggar Gading. Diangkatnya pedangnya tinggi-tinggi, dan terdengarlah ia berteriak memberi aba kepada para pengikutnya.

Perintah itu bagaikan mengumandang di daerah Sepasang Bukit Mati. Suara Sanggit Raina yang keras itu telah membentur bukit berhutan dan bukit gundul, sehingga suaranya memantul kembali melingkar-lingkar. Seakan-akan terdengar suara gemuruhnya guntur yang meledak di langit.

Perintah itu telah menggerakkan orang-orang Sanggar Gading. Dengan senjata di genggaman mereka pun segera memacu kudanya menyongsong orang-orang Kendali Putih yang menjadi semakin dekat.

Sementara itu, orang-orang Kendali Putih pun telah menghentakkan kuda mereka pula. Mereka berteriak tidak kalah garangnya. Bahkan orang yang disebutnya Eyang Rangga itulah yang kemudian berada di paling depan, di sisi pemimpin orang-orang Kendali Putih itu.

Dalam pada itu, ketajaman penglihatan Yang Mulia menangkap wajah seseorang yang bagaikan menyalakan dendam yang tiada taranya. Karena itu, maka ia pun kemudian menempatkan diri di sebelah Sanggit Raina sambil berkata, “Jangan kau dekati orang tua itu. Ia adalah orang yang sangat berbahaya. Biarlah aku menempatkan diri melawannya”

Sanggit Raina tidak sempat bertanya lebih lanjut. Sekejap kemudian kedua pasukan itu telah berbenturan. Mereka menebar ke padang perdu dan ilalang yang luas di ujung pategalan. Beberapa ekor kuda justru melingkar sebelum penunggangnya menemukan lawannya dengan mapan.

Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah bertempur dengan sengitnya. Sementara itu, Yang Mulia telah berhadapan dengan Eyang Rangga diatas punggung kuda masing-masing.

“Kau ternyata telah melibatkan diri diantara orang-orang Kendali Putih, Sampir” bertanya Yang Mulia kepada orang yang menyebut dirinya Eyang Rangga.

“Namaku Rangga” jawab orang itu.

“Sebutlah seribu nama. Aku lebih senang memanggilmu Sampir” jawab Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.

“Baiklah. Aku tidak akan dapat ingkar. Tetapi kau pun tidak dapat ingkar, siapakah sebenarnya kau” desis Eyang Rangga yang berhadapan dengan Yang Mulia itu.

“Sebut namaku. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang bangsawan” sahut Yang Mulia.

Tetapi Eyang Rangga yang bernama Sampir itu tertawa. Katanya, “Nilai seseorang tidak diukur apakah ia bangsawan atau bukan. Bagiku kau adalah seorang yang licik dan pengecut”

Tetapi yang Mulia lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Jangan iri. Aku adalah orang yang paling terhormat. Tidak ada seorang pun diantara para bangsawan dalam tataranku yang disebut Yang Mulia. Aku adalah orang yang mempergunakan sebutan itu diantara orang-orangku. Diantara orang-orang Sanggar Gading”

“Kau pemimpi yang buruk. Apa artinya panggilan itu bagimu? Apakah panggilan itu akan memberikan kanugrahan bagimu?” bertanya Eyang Rangga.

Yang Mulia masih tertawa. Namun suara tertawanya itu terputus ketika Eyang Rangga. berkata, “Nah, kita sekarang sudah berhadapan. Kita akan memperebutkan barang yang paling berharga di dalam hidup kita. Sudah tersurat di dalam kitab-kitab yang tersimpan di istana dan di perbendaharaan orang-orang pandai, bahwa siapa yang memiliki pusaka yang tersembunyi di daerah Sepasang Bukit Mati, yang akan diterima dari rebung bambu petang yang patah, maka ia akan dapat mengusai lingkungannya dengan caranya. Nah, menurut perhitunganku dan tentu juga perhitunganmu, rebung bambu petung yang patah itu adalah anak yang menyebut dirinya Daruwerdi itu. Karena itu, maka kita bersama-sama telah didorong untuk mendapatkan pusaka itu, karena kita masing-masing ingin berkuasa atas satu lingkungan. Memang gila jika kau menganggap bahwa berkuasa atas satu lingkungan itu adalah tahta Demak, meskipun kau seorang bangsawan. Lingkunganmu adalah lingkungan tangan-tangan yang bernoda darah. Karena itu, jika kau atau aku yang berhasil menguasai pusaka itu, maka salah seorang dari kita akan berkuasa atas lingkungan orang-orang yang tangannya bernoda darah, meskipun dengan demikian kita akan dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak”

“Nah, bukankah arah perhitunganmu juga kearah mimpi, yang nikmat itu?” desis Yang Mulia, “Jangan ingkar. Tetapi aku mempunyai kelebihan dari padamu Sampir. Aku adalah keturunan raja-raja yang berkuasa di pulau ini. Hanya karena satu sebab aku tersisih. Pada suatu saat aku akan kembali. Bukan saja sebagai seorang bangsawan yang terhormat, tetapi aku sudah melengkapi diriku dengan segala yang diperlukan untuk menerima wahyu keraton”

“Kau sudah mulai mengigau” sahut Yang Mulia, “Marilah. Kita sudah lama tidak bertemu. Apakah kau masih memiliki ilmumu yang dahsyat itu”

“Ilmuku mempunyai kemampuan ganda saat ini. Jika ilmumu masih saja setingkat saat itu, maka kau tidak akan dapat bertahan sepenginang” geram Eyang Rangga,

Yang Mulia tidak menjawab lagi. Ia pun segera bersiap. Sekilas ia memperhatikan pertempuran yang membakar daerah di seputar pategalan itu. Di padang ilalang di hutan perdu dan di ujung pategalan itu sendiri.

Sejenak kemudian, maka Sampir pun tidak sabar lagi. Dengan garang ia mulai menyerang. Kudanya melonjak tinggi, kemudian seolah-olah meloncat menerkam lawannya.

Tetapi Yang Mulia pun tangkas menghadapinya. Ditariknya kendali kudanya kesamping, sehingga kudanya bagaikan mengelak dengan loncatan kecil.

Namun selanjutnya, keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kuda mereka berlari melingkar-lingkar, kadang-kadang keduanya sambar menyambar dengan dahsyatnya, sementara penunggangnya telah mempermainkan senjata mereka.

Dalam pada itu, arena pertempuran itu menjadi terlalu ribut. Kedua belah pihak yang masih tetap berada di punggung kuda telah bertempur dengan serunya. Ternyata kedua belah pihak mempunyai kemampuan yang tinggi mengendalikan kuda dengan senjata di tangan.

Sanggit Raina telah berhadapan langsung dengan pemimpin orang-orang Kendali Putih, sementara para pengikutnya bertempur memenuhi padang ilalang.

Pohon-pohon perdu pun berpatahan dan batang-batang ilalang roboh terinjak-injak kaki kuda. Sekali-sekali terdengar kuda meringkik. Kemudian derap kakinya yang berputaran.

Beberapa saat pertempuran itu berlangsung. Namun kemudian orang-orang Kendali Putih mulai bersorak-sorak. Orang-orang Sanggar Gading menjadi agak terdesak. Meskipun perlahan-lahan, tetapi agaknya orang-orang Kendali Putih yang garang itu, dengan jantung yang membara telah bertempur tanpa menghiraukan apapun juga.

Sementara orang-orang Sanggar Gading terdesak, terdengar pemimpin orang-orang Kendali Putih itu berteriak, “Serahkan saja Pangeran itu. He, dimana orang itu kalian sembunyikan? Jika kalian menyerahkannya, kalian akan kami beri kesempatan untuk tetap hidup”

Sanggit Raina menggeram. Dengan garangnya ia menyerang sambil berkata lantang, “Kami adalah orang-orang Sanggar Gading. Batas perlawanan kami adalah kematian, sebagaimana kami bertekad memasuki padepokan kami”

“Bagus” jawab pemimpin orang-orang Kendali Putih?, “kalian memang akan mati. Kalian semuanya akan kami binasakan”

Tetapi gairah orang-orang Sanggar Gading tidak mengendur meskipun mereka mulai terdesak. Beberapa orang Sanggar Gading mulai melingkar agak jauh dari arena. Namun mereka menyerbu kembali ke dalam arena dengan senjata teracu.

Betapapun juga garangnya orang-orang Sanggar Gading, namun mereka tidak banyak berbuat di arena yang baur itu. Seolah-olah di segala sudut orang-orang Kendali Putih sedang menghadang dengan senjata terayun. Bahkan orang-orang Sanggar Gading itu seakan-akan tidak lagi mendapat tempat, sehingga mereka terdesak keluar arena. Namun demikian mereka berbalik, lawan telah menunggu dan bahkan menyambar dengan garangnya.

“Kalian memang ingin membunuh diri” berkata Eyang Rangga.

Tetapi Yang Mulia Panembahan tidak menjawab. Ia pun bertempur dengan dahsyatnya pula tanpa menghiraukan keadaan orang-orang Sanggar Gading yang mengalami kesulitan.

Semakin lama, semakin jelas, betapa orang-orang Kendali Putih menguasai seluruh arena. Mereka mulai berusaha mengepung orang-orang Sanggar Gading. Beberapa orang Kendali Putih telah melingkar di seputar arena. Mereka berusaha mengurung orang-orang Sanggar Gading dalam lingkaran yang semakin lama semakin dipersempit.

Tetapi orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang yang cukup garang. Meskipun mereka sudah hampir terkepung rapat, namun masih ada diantara mereka yang berhasil memecahkan lingkaran yang mulai merapat itu. Kemudian dengan garangnya pula mereka menyerang dinding lingkaran itu dari luar.

Namun demikian usaha mereka tidak banyak membawa hasil. Dalam pertempuran yang seru, orang-orang Kendali Putih mampu memancing mereka dengan membuka lingkaran yang belum sempurna itu, dan mendorong orang-orang Sanggar Gading itu kembali masuk ke dalam lingkaran.

Dalam pada itu, orang-orang Kendali Putih itu semakin lama menjadi semakin garang. Senjata mereka teracu-acu. Ternyata bahwa satu dua orang diantara mereka yang bertempur itu telah tersentuh senjata, sehingga darah pun mulai meleleh dari luka.

Dalam pertempuran yang seru itu, Sanggit Raina selalu memperhitungkan segala kemungkinan. Pada saat pasukannya sudah benar-benar dalam kesulitan, serta ketika ia melihat seorang pengikut dari padepokan Sanggar Gading terlempar dari kudanya, karena tusukan tombak pendek mengoyak lambungnya, maka ia pun mulai mengerahkan segenap kekuatan pasukannya.

Sesaat kemudian terdengar suitan nyaring dari mulut Sanggit Raina. Dalam pada itu, sebelum orang-orang Kendali Putih menyadari, maka mereka telah mendengar sorak gemuruh dari balik gerumbul-gerumbul liar dan pategalan yang rimbun. Ternyata orang-orang Sanggar Gading yang tersisa telah merayap dengan sangat berhati-hati sambil menuntun kudanya diantara pepohonan di dalam pategalan mendekati arena. Seperti yang sudah dipesan oleh pimpinan mereka, maka mereka harus mengejutkan lawan dengan sorak yang sekeras-kerasnya.

Cempaka yang memimpin mereka, segera meloncat ke punggung kudanya dan meneriakkan aba-aba.

Sesaat kemudian, beberapa ekor kuda berlari-larian menerjang ke dinding lingkaran yang sudah hampir merapat. Dengan senjata teracu mereka dengan garangnya menyerang orang-orang Kendali Putih yang masih termangu-mangu.

Serangan yang tiba-tiba itu ternyata telah memberikan hasil yang dikehendaki. Selagi orang-orang Kendali Putih itu terkejut, maka orang-orang Sanggar Gading telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, sehingga dalam waktu yang pendek, beberapa orang Kendali Putih telah terluka oleh senjata orang-orang Sanggar Gading.

“Orangmu memang licik” geram Eyang Rangga, “Tetapi jangan kau sangka bahwa dengan demikian kalian akan menang. Semakin banyak orang-orang kalian memasuki arena perkelahian ini, semakin banyak korban yang akan kau berikan bagi pusaka yang tidak tentu akan bermanfaat bagi kalian itu”

“Jangan merajuk” jawab Yang Mulia, “nikmatilah pertempuran yang bagi kalian adalah kesempatan terakhir, karena dalam pertempuran ini, kalian akan kami binasakan. Jangan menyesal. Itu adalah tabiat orang-orang Sanggar Gading menghadapi lawan-lawannya”

Eyang Rangga yang juga bernama Sampir itu menggeram. Dengan segenap kemampuannya ia menyerang orang yang disebut Yang Mulia itu. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah dapat mengimbangi kemampuan penunggang-penunggangnya. Dalam keadaan yang paling gawat, kuda-kuda itupun mampu menyesuaikan dirinya.

Benturan senjata keduanya memercikkan bunga api di udara. Kekuatan mereka yang seolah-olah tidak terbatas itu, bagaikan mengaduk udara di sekitar pategalan. Ayunan senjata mereka telah menumbuhkan desing yang mendebarkan. Para pengikut dari Sanggar Gading dan Kendali Putih tanpa sadar telah bertempur menjauhi orang-orang tua itu.

“Dimanakah tongkat gading mu Yang Mulia” geram Sampir.

Yang Mulia tertawa pendek Sambil menyerang ia berdesis, “Tongkat itu bukan untuk bertempur. Terlalu mahal untuk menyentuh senjata lawan. Tetapi pangkal itu ada pada senjataku ini. Karena itu, tuah gajah mati ngurag itu ada juga pada senjataku ini”

“O” desis Sampir, “Aku sama sekali tidak merasakan kekuatan apapun pada senjatamu. Mungkin karena kemampuanku memang melampaui kekuatan dan tuah gading gajah mati ngurag.

“Omong kosong” desis Yang Mulia, “terasa di tanganku, kekuatanmu sudah jauh menjadi susut”

Eyang Rangga tertawa. Katanya, “Kita akan bertempur sampai tuntas. Mungkin orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih akan bertempur sampai orang terakhir. Dan kita akan bertempur terus. Sejak semula aku sudah ketahui bahwa kau memang ingin bertempur tanpa, menunjukkan cacat kakimu. Karena itu, orang-orangmu pun kau perintahkan untuk bertempur diatas punggung kuda.

Tetapi Yang Mulia menjawab, “Kau sangka, bahwa dengan kakiku yang cacat aku tidak mampu bertempur diatas tanah?”

Eyang Rangga tertawa. Terdengar kudanya meringkik, seolah-olah ikut pula mentertawakan jawaban Yang Mulia Wukir Gading. Namun kuda itu pun harus segera bergeser, karena Yang Mulia telah menyerang dengan garangnya.

Sementara itu pertempuran menjadi semakin sengit. Ternyata kehadiran orang baru itu sangat mempengaruhi pertempuran. Satu-satu orang-orang Kendali Putih terlempar dari kudanya. Namun orang-orang Sanggar Gading pun menjadi semakin berkurang pula jumlahnya. Pertempuran berkuda itu ternyata merupakan pertempuran yang paling dahsyat yang pernah dialami oleh kedua kelompok orang-orang yang garang itu.

Sanggit Raina telah memperhitungkan segalanya dengan saksama. Ia mulai melihat keseimbangan yang berubah. Meskipun demikian pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat.

Dalam dahsyatnya pertempuran itu, Sanggit Raina berusaha untuk mendekati Cempaka. Dengan hati-hati ia berbisik, “Sudah saatnya. Pertempuran itu berlangsung sangat seru. Karena itu, kita tidak boleh menunda lagi. Beritahukan kepada Rahu, agar ia ikut bersama kita. Jangan menimbulkan kecurigaan terhadap siapapun. Semuanya harus berlangsung tanpa menarik perhatian orang lain”

Cempaka tidak menjawab. Tetapi ia pun segera berkisar. Sambil bertempur ia berusaha untuk mendekati Rahu yang sedang sibuk pula dengan lawannya.

Namun Cempaka sempat memberi isyarat kepada Rahu, sehingga akhirnya Rahu pun berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan pertempuran.

Ternyata Sanggit Raina telah mempunyai rencana sendiri. Ditinggalkannya pertempuran yang seru itu. Namun Sanggit Raina telah memperhitungkan, bahwa pertempuran itu akan berakhir sampai orang yang penghabisan dari kedua belah pihak. Mungkin Yang Mulia dan lawannya sajalah yang akan bertempur sampai waktu yang tidak terbatas. Sementara orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih akan habis punah.

Sejenak kemudian, tanpa menimbulkan kecurigaan orang lain, Sanggit Raina, Cempaka dan Rahu berusaha untuk bertempur di batas pategalan. Kemudian tanpa diketahui oleh siapapun ketiganya telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan. Untuk beberapa saat mereka justru telah turun dari kuda mereka dan menuntun kuda masing-masing untuk menghindari pengamatan kawan-kawannya.

Sementara itu, pertempuran itu pun masih berlangsung dengan sengitnya. Jika semula orang-orang Sanggar Gading nampak agak mempunyai kelebihan namun kepergian Sanggit Raina, Cempaka dan Rahu meskipun tidak terlalu terasa ada juga pengaruhnya, sehingga rasa-rasanya kedua kekuatan itu menjadi seimbang.

Dalam pada itu, Sanggit Raina, Cempaka dan Rahu itu pun kemudian telah menyusup ke tempat Pangeran yang sedang sakit itu di sembunyikan. Dengan tergesa-gesa iapun berkata kepada orang-orang yang mengawal Pangeran itu, “Keadaan memaksa kita untuk meninggalkan tempat ini. Orang-orang Kendali Putih jumlahnya tidak terhitung. Kekuatannya melampaui kekuatan orang-orang Sanggar Gading”

“Jadi, apakah yang akan kita lakukan?” bertanya salah seorang pengawal Pangeran yang sedang sakit itu.

“Kita meninggalkan tempat ini. Pangeran kita selamatkan dari tangan orang-orang Kendali Putih” jawab Sanggit Raina.

“Dimanakah Yang Mulia sekarang?” bertanya pengawal itu.

“Yang Mulia masih bertempur melawan orang terkuat dari Kendali Putih” jawab Sanggit Raina, “Yang Mulia lah yang memerintahkan kami untuk meninggalkan arena dan menyelamatkan Pangeran itu”

Orang Sanggar Gading yang mengawal Pangeran itu sama sekali tidak berprasangka. Menurut pengamatannya, Sanggit Raina adalah orang yang paling dipercaya oleh Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Karena itu maka iapun segera bersiap-siap. Kawan-kawannya yang mengawal Pangeran itupun telah bersiap-siap pula.

“Marilah. Ikut kami ke bukit gundul” berkata Sanggit Raina.

Dengan demikian, maka mereka pun segera meninggalkan pategalan itu menuju ke bukit gundul. Atas perintah Sanggit Raina, mereka tidak muncul dari pategalan dan turun ke jalan, tetapi mereka berusaha untuk berada dilingkungan pategalan itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak lagi menelusuri jalan sebagaimana seharusnya, tetapi mereka turun ke sawah dan melintasi pematang tanpa menghiraukan tanaman.

Dalam terik matahari dan air yang tidak mencukupi, tidak ada seorang pun yang turun ke sawah. Apalagi anak-anak Lamban Wetan dan Lamban Kulon sedang beristirahat setelah semalam suntuk mereka berada di bendungan.

Disebelah pategalan orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Satu-satu mereka telah terbunuh. Namun ada juga yang sekedar terlempar dari kudanya dalam keadaan terluka parah.

Sanggit Raina sama sekali tidak menghiraukan lagi. Dengan tergesa-gesa ia membawa Pangeran yang masih dianggapnya sakit itu ke bukit gundul.

“Rahu” berkata Sanggit Raina, “Pergilah mendahului kami. Panggillah Daruwerdi agar ia mempersiapkan pusaka yang dijanjikan. Aku telah membawa Pangeran yang dikehendakinya”

Rahu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menyahut, “Baiklah. Aku akan memberitahukan Daruwerdi. agar ia bersiap-siap di bukit gundul.

Sanggit Raina tidak mengulangi pesannya. Rahu pun kemudian memacu kudanya mendahului iring-iringan itu menuju ke Lumban Kulon untuk menemui Daruwerdi seperti yang telah disanggupkannya.

“Apakah dengan sikap kita, tidak akan terjadi sesuatu di kemudian nanti” bertanya Cempaka sambil berbisik di sisi Sanggit Raina.

“Aku tidak peduli” jawab Sanggit Raina, “Tetapi aku kita mereka akan hancur bersama-sama. Tidak akan ada yang tersisa. Mungkin satu dua orang diantara mereka. Itu adalah kewajiban kita untuk membunuhnya”

Cempaka mengangguk-angguk. Namun kemudian, “Bagaimana dengan orang-orang yang mengawal Pangeran itu?”

“Apakah kita tidak sanggup membunuhnya pula?” desis Sanggit Raina.

Sekali lagi Cempaka mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya Sanggit Raina masih belum akan berbuat sesuatu atas para pengawal. Ia masih mempertimbangkan, seandainya orang-orang Sanggar Gading punah, sementara masih ada orang-orang Kendali Putih yang tersisa, adalah menjadi kewajiban mereka untuk membinasakan, sebelum orang-orang Sanggar Gading yang tersisa itu sendiri akan dibinasakan.

“Kita sudah berada diatas genangan darah. Kita tidak perlu mencuci tangan kita. Biarlah kita berbuat sampai ke batas. Baru kemudian kita mencari sumber air yang paling bening untuk mencuci segala macam noda yang melekat ditabuh kita. Tetapi pusaka dan petunjuk mengenai harta yang tidak terbatas jumlahnya itu harus berada di tangan kita” geram Sanggit Raina.

Cempaka mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan lain. Segalanya itu memang harus terjadi. Jika sekali tangannya telah bernoda darah, maka sulit baginya untuk ingkar, bahwa noda-noda berikutnya masih akan melekat. Meskipun seperti Sanggit Raina, Cempaka pun mengetahui, bahwa masih ada satu jalan yang dapat ditempuh. Bertaubat mutlak.

Tetapi juga seperti Sanggit Raina Cempaka berkata didalam hatinya, “Nanti sajalah jika semua kerja sudah selesai. Sekaligus aku akan bertaubat dan mencuci segala dosa. Belum waktunya sekarang, karena aku tentu masih akan membuat dosa-dosa baru. Jika kemudian aku sudah puas dengan dosa-dosa dan aku sudah menjadi kaya raya karena harta yang akan dapat diketemukan atas petunjuk sesuatu yang berada bersama pusaka itu, serta apalagi jika pusaka itu benar-benar bertuah dan menjadikan Sanggit Raina orang terpenting di tanah ini, maka aku pun akan menjadi orang yang berderajad dan sekaligus kaya raya”

Dengan sikap itu Cempaka pun telah bertekad untuk berbuat apa saja dan mengorbankan siapa saja.

Ketika Bukit gundul menjadi semakin dekat. Sanggit Raina dan Cempaka menjadi berdebar-debar. Demikian gemuruhnya gejolak di dalam dada Cempaka sehingga diluar sadarnya ia berdesis, “Mudah-mudahan orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih itu hancur punah”

Ternyata Sanggit Raina yang berkuda di sebelahnya mendengarnya. Katanya, “Jangan gelisah. Percayalah”

Cempaka mengangguk kecil. Ia berusaha untuk meyakini, bahwa orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih memang akan hancur.

Sementara itu, Pangeran yang sedang sakit itu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih nampak sangat lemah. Diantara para pengawal yang mengikutinya, terdapat seorang yang mempunyai kemampuan pengobatan. Orang itu pula yang telah memberikan obat kepada salah seorang Sanggar Gading yang terluka di pategalan. Tetapi orang itu ditinggalkannya dengan harapan, bahwa kawan-kawannya akan mengambilnya, setelah pertempuran itu selesai

Dalam pada itu, Pangeran yang sakit itupun nampaknya masih sangat lemah. Meskipun ia sudah mula nampak berangsur baik, bahkan sudah mulai mau makan barang sedikit, tetapi ia masih harus dilayani dan dijaga agar tidak jatuh dari kudanya.

“Aku akan dibawa kemana?” bertanya Pangeran itu kepada pengawalnya.

“Ke bukit gundul itu Pangeran” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dari aku?” desis Pangeran itu pula, “nampaknya ada salah mengerti”

“Kami tidak berhak memberikan jawaban. Mungkin Pangeran sudah mendengar serba sedikit, sengaja atau tidak sengaja” jawab pengawalnya itu pula.

“Ya. Aku sudah mendengarnya. Seperti yang kau katakan, sengaja atau tidak sengaja. Tetapi aku tidak yakin bahwa alasan itulah yang sebenarnya kenapa aku harus dibawa kemari” desis Pangeran itu.

Pengawalnya tidak menyahut. Sanggit Raina yang berkuda di depan berpaling. Agaknya ia mendengar percakapan itu meskipun tidak jelas apa yang mereka maksudkan. Meskipun demikian, percakapan itupun terhenti pula.

Karena Pangeran itu nampaknya masih sangat lemah, maka Sanggit Raina tidak mencemaskannya bahwa ia akan berbuat sesuatu. Bahkan untuk berdiri tegak tanpa bantuan orang lain, Pangeran itu rasa-rasanya tidak mampu lagi.

“Tetapi ia tidak boleh mati” berkata Sanggit Raina di dalam hatinya, “Daruwerdi tidak akan mau mengerti apapun alasannya”

Beberapa saat kemudian, iring-iringan kecil itu sudah tinggal beberapa puluh langkah saja dari bukit gundul. Karena itu, maka mereka pun berhenti di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Sebatang pohon munggur yang besar, meskipun daunnya tidak terlalu lebat. Namun demikian, mereka dapat berteduh sedikit sambil menunggu kehadiran Rahu dan Daruwerdi.

Dalam pada itu, Rahu telah berada di halaman rumah tempat tinggal Daruwerdi. Semula ia merasa ragu. Agaknya ada semacam kecemasan di hati Rahu. Jika pusaka itu benar-benar jatuh ke tangan orang-orang Sanggar Gading yang telah berkhianat itu, apakah ia akan dapat berbuat sesuatu. Dan iapun menjadi cemas akan nasib Pangeran itu. Jika dendam Daruwerdi itu tidak terkendali, maka Pangeran yang dianggapnya telah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap Daruwerdi itu akan mengalami nasib yang buruk justru disaat ia sedang sakit. Jika demikian, maka telah terjadi sesuatu yang seharusnya dicegahnya demi nama Demak yang sedang bangkit.

“Lalu, yang manakah yang harus aku kerjakan terutama” pertanyaan itu bergejolak di hatinya, “Apakah aku harus mendapatkan pusaka itu, atau menyelamatkan Pangeran yang sedang sakit?”

Sekilas diingatnya Semi dan seorang kawannya yang akan dapat membantunya. Tetapi ia masih belum dapat berhubungan karena keadaan yang memang belum memungkinkan. Bahkan masih ada seorang lagi yang akan melibatkan diri dalam hal yang pelik itu. Jlitheng.

Meskipun Rahu tahu pasti, siapakah Jlitheng dan kebesaran nama ayahandanya, tetapi dalam perkembangan berikutnya ia tidak tahu apakah yang sebenarnya ingin dilakukan oleh enak muda itu.

Tetapi Rahu tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia sudah berada di halaman rumah Daruwerdi.

Sejenak kemudian, Daruwerdi itu pun muncul dari balik pintu. Sambil tersenyum ia berkata, “Marilah. Duduklah”

Tetapi Rahu menggeleng. Jawabnya, “Tidak perlu. Aku memberitahukan kepadamu, segalanya sudah siap”

“Jadi orang-orang Sanggar Gading itu tidak sekedar membual saja?” bertanya Daruwerdi.

“Semuanya sudah berada di bukit gundul. Kau datang sajalah ke bukit itu” berkata Rahu.

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan pergi ke bukit gundul. Segalanya akan aku selesaikan di bukit itu”

“Terserah kepadamu” desis Rahu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi apakah sebenarnya yang akan kau lakukan atas Pangeran itu”

Daruwerdi memandang Rahu sejenak. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkala, “Persoalan dengan Pangeran itu adalah persoalanku. Apapun yang akan aku lakukan kemudian, terserah kepadaku. Kalian akan menerima pusaka yang kalian kehendaki”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memaksa Daruwerdi untuk mengatakan apapun juga. Bahkan mungkin akan dapat menimbulkan kecurigaan pada anak itu.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Marilah, Cepatlah. Kita akan menyelesaikan persoalan kita secepatnya sebelum suasana berubah”

“Kenapa?” bertanya Daruwerdi.

“Jangan pura-pura tidak tahu kehadiran orang-orang Kendali Putih di daerah Sepasang Bukit Mati ini” jawab Rahu.

Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak peduli kehadiran orang manapun juga. Jika kau serahkan yang aku kehendaki, maka pusaka yang tidak akan berarti apa-apa bagiku itu akan aku serahkan pula. Tetapi kalian tentu akan kecewa, karena sebenarnya pusaka itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap siapapun. Adalah satu mimpi bahwa pusaka itu akan dapat memberikan tuah sehingga siapa yang memilikinya akan dapat memegang kendali kekuasaan di Demak”

“Jangan mengigau. Cepatlah berkemas dan ambil kudamu” potong Rahu.

Daruwerdi tersenyum. Jawabnya, “Baiklah, Nampaknya kau sangat tergesa-gesa. Duduklah. Aku akan mengambil kudaku”

“Aku menunggu di sini” sahut Rahu,

Ketika Daruwerdi kemudian masuk ke ruang dalam, dilihatnya ibunya mengusap setitik air di pelupuknya. Dengan suara lembut ia berdesis, “ngger, kau sedang bermain api”

“Sudahlah ibu” sahut Daruwerdi, “Silahkan ibu duduk saja dan menunggu apa yang akan terjadi. Paman berdua akan menemani ibu disini. Aku akan pergi ke bukit gundul untuk mengambil orang yang aku kehendaki itu”

“Bagaimana dengan kau dan Pangeran itu jika orang-orang yang membawanya telah berkhianat?” ibunya menjadi cemas.

Tetapi Daruwerdi tersenyum saja. Ketika ia berpaling kepada kedua orang pamannya, iapun berdesis, “Jangan cemas paman. Sebaiknya paman menunggui ibu disini. Nampaknya bukan hanya orang-orang Sanggar Gading sajalah yang datang ke daerah Sepasang Bukit Mati ini. Tetapi juga orang-orang Kendali Putih dan mungkin orang-orang Pusparuri pula.

“Aku adalah seorang petualang yang sudah kenyang makan pahit manisnya petualangan” berkata salah seorang pamannya. Lalu, “Tetapi aku kira, aku tidak akan berani melakukan seperti yang akan kau lakukan”

“Bukan apa-apa paman. Mudah sekali” jawab Daruwerdi.

Namun pamannya yang lain berkata, “Nampaknya kau tidak tahu bahaya yang sedang kau hadapi. Seperti kanak-kanak yang tidak tahu panasnya api, sehingga ia berani memegangnya. Dan sebenarnya itu bukan satu keberanian. Tetapi semata-mata karena ketidak tahuan”

“Agak berbeda dengan paman” jawab Daruwerdi tersenyum, “Anak-anak melakukannya tanpa kesadaran. Aku melakukan rencanaku dengan sadar dan perhitungan yang masak”

“Perhitungan kanak-kanak” desis ibunya, “agaknya kedua pamanmu mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain”

“Jangan rusakkan rencanaku” desis Daruwerdi, “Sudahlah. Aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sebentar lagi aku akan datang dengan membawa Pangeran. Kemudian kita akan meninggalkan tempat ini secepat-cepatnya kearah yang tidak akan diketemukan oleh siapapun”

Daruwerdi tidak dapat dicegah lagi. Karena itu kedua pamannya hanya dapat mengangkat bahunya. Hampir berbareng keduanya berdesah oleh kegelisahan. Sementara ibunya dengan lemahnya duduk di amben bambu, sambil mengusap air matanya yang menitik semakin deras.

Tetap Daruwerdi tidak dapat menunda lagi. Rahu sudah menunggunya. Dan ia memang akan pergi ke bukit gundul itu.

Dengan tergesa-gesa Daruwerdi pun kemudian pergi ke kandang. Diambilnya kudanya dan dituntunnya kehalaman.

Rahu sudah menjadi gelisah. Ketika ia melihat Daruwerdi, maka Katanya, “Cepatlah. Apakah kau sengaja memperpanjang waktu untuk satu kepentingan tertentu?”

“Kau terlalu berprasangka buruk” sahut Daruwerdi, “Sudah aku katakan. Aku memerlukan Pangeran itu, karena bagiku nilainya jauh lebih penting dari nilai apapun juga., Siapapun yang membawanya”

Rahu tidak menjawab. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa pula mengajak Daruwerdi untuk segera pergi ke bukit gundul.

Karena Daruwerdi tidak membawa apapun juga, maka Rahu pun bertanya kepadanya ketika keduanya mulai berpacu, “Dimana, pusaka itu? Nampaknya kau tidak membawa apapun juga?”

“Semuanya sudah ada di bukit gundul itu” bertanya Daruwerdi.

“Kau yang meletakkan disana?” bertanya Rahu.

“Bukan aku. Tempatnya memang agak tersembunyi. Maksudku, bahwa aku telah mengetahui letaknya dengan pasti. Justru agak tertutup, sehingga aku memerlukan dua atau tiga orang untuk membantu mengambilnya. Aku sendiri tidak dapat melakukannya” berkata Daruwerdi.

Rahu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Memang sebuah teka-teki yang rumit sedang berkecamuk di dalam kepalanya. Sementara ia pun masih belum tahu pasti, apakah Semi sudah berada di sekitar bukit gundul.

“Jika ia melihat orang-orang Kendali Putih meninggalkan bukit berhutan itu, ia akan mengikutinya” berkata Rahu di dalam hati, “Tetapi apakah ia melihat Sanggit Raina membawa Pangeran itu meninggalkan arena yang dahsyat, yang seperti perhitungan Sanggit Raina, kedua belah pihak akan punah atau setidak-tidaknya mengalami luka yang sangat parah” lalu, tiba-tiba saja ia berdesis di dalam hati, “Jlitheng lah yang tentu sudah melihat kehadiran Sanggit Raina. Tetapi ia tidak melihat peristiwa yang terjadi di pategalan itu”

Sebenarnyalah, dari kejauhan Jlitheng telah melihat kehadiran Sanggit Raina bersama iring-iringan kecilnya. Ia pun melihat Rahu yang mendahuluinya. Dan Jlitheng pun mengetahui bahwa Rahu tentu akan memanggil Daruwerdi untuk melakukan tukar menukar.

Tetapi seperti yang diduga oleh Rahu, Jlitheng tidak tahu apakah sebabnya, yang datang ke bukit gundul itu hanya beberapa orang saja yang dipimpin oleh Sanggit Raina dan Cempaka.

“Aneh” desis Jlitheng di dalam hati, “Apakah artinya semuanya itu. Apakah ada satu maksud tertentu atau usaha yang sudah mulai dirintis oleh Cempaka dan kakaknya untuk menguasai pusaka itu diluar pengetahuan pimpinan tertinggi padepokan Sanggar Gading”

Namun Jlitheng pun sudah menduga, bahwa Sanggit Raina dan Cempaka telah melakukan rencananya untuk mendapatkan satu keuntungan bagi mereka sendiri.

Jlitheng yang bersembunyi dibalik sebuah gerumbul perdu yang agak jauh dari bukit gundul itu terkejut ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan serta merta ia memutar tubuhnya dan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun ia pun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat seseorang yang tersembul dari sebuah gerumbul yang ber-serakkan di sekitarnya.

“Kiai mengejutkan aku” desis Jlitheng.

Kiai Kanthi tersenyum. Katanya, “Aku telah menerima ngger. Aku mengelilingi bukit gundul ini”

“Mereka sudah datang Kiai” desis Jlitheng, “Tetapi hanya beberapa orang saja. Agaknya pimpinan tertinggi padepokan Sanggar Gading tidak turun sendiri ke medan”

“Tidak ngger. Pemimpin tertinggi padepokan Sanggar Gading inilah yang telah memimpin pasukannya segelar sepapan”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Tetapi hanya mereka sajalah yang sampai ke bukit gundul ini”“

Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya, “Yang lain sedang bertempur di pategalan. Ternyata orang-orang yang berada di lereng bukit berhutan itu, tidak menunggu sampai Pangeran itu diserahkan. Mereka telah menyerang orang-orang Sanggar Gading dan agaknya mereka ingin merampas Pangeran itu”

Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pergulatan yang sengit. Nampaknya orang-orang yang menunggu itu sudah tidak sadar lagi. Tetapi mereka sudah melakukan sesuatu yang berbahaya. Berbahaya bagi mereka sendiri dan berbahaya bagi Pangeran itu”

“Ya ngger. Tetapi mungkin sekali mereka mempunyai perhitungan tersendiri. Mungkin mereka menganggap bahwa cara itu akan lebih baik ditempuh daripada mereka menunggu orang-orang Sanggar Gading itu memperoleh pusaka yang mereka percaya mempunyai tuah. Dengan pusaka itu ditangan, maka orang-orang Sanggar Gading tidak akan dapat dikalahkannya” desis Kiai Kanthi.

“Mungkin Kiai, meskipun mungkin ada perhitungan-perhitungan yang lain. Tetapi satu kenyataan telah terjadi, bahwa pertempuran itu sudah berlangsung” jawab Jlitheng.

“Ya. Menurut pengamatanku pertempuran itu akan berlangsung sangat seru. Nampaknya kedua belah pihak mempunyai kekuatan yang seimbang” berkata Kiai Kanthi.

“Lalu kenapa Sanggit Raina telah membawa Pangeran itu mendahului pasukannya yang sedang bertempur?” bertanya Jlitheng.

“Aku hanya dapat menyaksikan dari kejauhan ngger, sehingga aku tidak dapat mengerti, apakah sesungguhnya yang terjadi. Tetapi menurut dugaanku, Sanggit Raina menyelamatkan Pangeran itu, sehingga dengan demikian maka pusaka itu akan tetap berada di tangan orang-orang Sanggar Gading meskipun itu akan berakhir dengan sangat mengerikan. Jika kekuatan mereka benar-benar seimbang, akan keduanya tentu akan punah sampai orang yang terakhir” jawab Kiai Kanthi.

“Kenapa dengan demikian Yang Mulia Panembahan Wukir Gading tidak justru Memanfaatkan tenaga Sanggit Raina Cempaka dan Rahu selain beberapa orang yang mengawal Pangeran itu untuk menghancurkan lawan mereka sama sekali. Dengan orang-orang terpenting dari Sanggar Gading itu, maka mereka tentu akan dapat mengalahkan lawan mereka” sahut Jlitheng.

Tetapi Kiai Kanthi menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu, apakah alasan yang sebenarnya, bahwa Sanggit Raina telah membawa Pangeran itu. Yang aku katakan hanyalah satu dugaan”

Jlitheng hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka memang hanya dapat menduga-duga, apakah yang telah terjadi sebenarnya.

Namun dalam pada itu, pertempuran di pategalan itu memang telah berlangsung dengan sangat mengerikan. Kedua pihak ternyata terdiri dari orang-orang yang, kasar. Ketika tubuh mereka telah basah oleh bukan saja keringat, tetapi darah, maka mereka menjadi buas dan liar. Mereka tidak lagi dapat menguasai diri. Mereka bertempur bagaikan seekor harimau yang kelaparan atau sebagai kawanan serigala yang berebut bangkai. Bahkan mereka yang telah terluka dan terjatuh dari kuda masing-masing pun masih juga bertempur dengan sisa-sisa tenaga mereka. Seorang yang telah terluka dengan sisa tenaganya berusaha untuk menghunjamkan pedang mereka pada lawannya yang sudah terbaring diam sambil mengerang. Namun ternyata bahwa orang itu tidak mampu lagi melakukannya dan bahkan kemudian jatuh terbaring di sisi lawannya sambil mengerang pula.

Namun mereka yang masih mampu melangkah dengan tertatih-tatih telah melepaskan dendam dan kemarahannya kepada lawan-lawannya yang sudah tidak berdaya.

Tetapi ketika seorang yang terhuyung-huyung dengan pedang di tangan siap untuk menusuk leher, tiba-tiba saja ia telah terlempar jatuh karena hentakkan bindi yang berat di punggungnya dari seorang lawannya yang masih berada di punggung kuda.

Yang Mulia Panembahan Wukir Gading masih bertempur dengan sengitnya melawan Eyang Rangga. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang lain yang tidak berani mendekat sama sekali.

Dengan tangkasnya keduanya memutar senjata masing-masing. Kuda mereka berlari sambar-menyambar. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi keadaan disekitar mereka. Satu-satu pengikut mereka di kedua belah pihak telah terbunuh. Seperti yang diramalkan oleh Sanggit Raina, bahwa kedua belah pihak pada akhirnya akan mengalami keadaan yang sangat parah.

Meskipun demikian, diluar sadar, Yang Mulia Panembahan Wukir Gading dapat melihat, ada yang kurang pada pasukannya. Dalam pertempuran yang garang dengan arena yang luas, Panembahan Wukir Gading merasakan, bahwa, pasukannya tidak bertempur dengan sepenuh kekuatan.

“Ada yang kurang” Ia berdesis, “Tetapi ia tidak segera mengetahui, apakah yang kurang itu sebenarnya”

Sementara itu, Sanggit Raina, Cempaka dan beberapa orang pengikut dari padepokan Sanggar Gading masih berada di bawah sebatang pohon yang meskipun tidak terlalu rimbun, namun dapat menjadi tempat sekedar untuk berteduh sambil menunggu kedatangan Rahu yang sedang memanggil Daruwerdi ke bukit gundul. Kegelisahan yang mencengkam membuat Sanggit Raina tidak dapat berdiri tenang. Kudanya yang ditambatkannya pada pohon itupun nampaknya menjadi gelisah pula, Rasa-rasanya Rahu telah pergi sehari penuh.

Cempaka pun menjadi gelisah pula. iapun telah menambatkan kudanya dan berjalan hilir mudik. Sekali-kali ia berhenti memandang kekejauhan. Tetapi ia tidak melihat Rahu muncul dari balik tikungan. Sementara itu bukit gundul itu pun nampaknya bagaikan tempurung raksasa yang menelungkup. Diam dan beku.

Sementara itu. Pangeran yang dianggap masih dalam keadaan sakit itupun menjadi gelisah pula. Ketika ia sadar, bahwa hanya ada beberapa orang-orang muda yang menungguinya, timbul niatnya untuk melepaskan diri. Ia merasa, bahwa ia akan mampu melakukannya. Meskipun ia tidak dapat bertempur langsung melawan mereka dalam jumlah yang terlalu banyak, namun dengan hentakkan pertama ia dapat membunuh orang yang bernama Sanggit Raina itu dengan ilmunya, justru pada saat orang itu lengah. Kemudian adiknya yang bernama Cempaka dan para pengikutnya yang lain tidak akan terlalu sulit untuk melawan sambil menghindar.

Tetapi keinginannya untuk mengetahui, apakah latar belakang dari semuanya itu telah mencegahnya. Ia masih saja berpura-pura sakit. Dengan demikian ia akan dihadapkan pada satu saat yang ingin dimengertinya. Pangeran itu benar-benar ingin mengetahui, siapakah orang yang telah menuntut agar dirinya diserahkan.

Keragu-raguan yang tajam telah menghentak-hentak didadanya. Namun akhirnya ia memilih untuk tetap tinggal dalam keadaannya, seolah-olah ia masih seorang yang sakit. Bahkan ia telah berhasil mengelabui orang yang merawat dan mengobatinya.

Ketika Sanggit Raina dan Cempaka masih saja dicengkam oleh kegelisahan, maka Pangeran yang dibayangi oleh keragu-raguan itupun telah berbaring diatas rerumputan. Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tidak dapat menyingkirkan keinginannya untuk bertemu dengan orang yang memerlukannya.

 

 Bersambung ke jilid 15

Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/

Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

Diedit, disesuaikan dengan buku aslinya untuk kepentingan blog https://serialshmintardja.wordpress.com

oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar